Jakarta, 20.47
Denting-denting cangkir yang beradu dengan sendok pengaduk sudah tak lagi terdengar. Tawa-tawa dalam berbagai tingkatan volume sudah tak lagi tertangkap telinga. Di kedai kopi sederhana di ujung jalan yang cukup sepi itu kini hanya tersisa puluhan gelas kotor yang menumpuk seakan mengantri minta dicuci. Seorang pelayan yang bertugas berjaga sampai kedai itu tutup masih sibuk merapikan meja-meja sebelum akhirnya menghampiri wastafel dan menghela nafas melihat tumpukan pekerjaan yang menanti di depan matanya.
Jauh di seberang kedai kopi itu, di depan sebuah toko 24 jam berlogo huruf ‘K’ berwarna merah menyala berdiri seorang pemuda tanggung berjaket tipis dengan bagian kapucon yang disangkutkan ke kepala. Ia tak sendiri, tapi bersama seorang perempuan berambut pendek setengkuk yang juga berjaket—hanya saja tidak dilengkapi kapucon--. Mereka lalu beranjak masuk ke dalam toko kecil itu. Penjaga toko 24 jam menyambut mereka dengan kalimat ‘selamat datang’ yang sudah terprogram seperti layaknya robot yang distel oleh Sang pemilik untuk berbunyi sesuai perintah.
Si lelaki berkapucon mengambil gelas kertas di samping coffee maker machine di pojok ruangan toko.
“Kamu mau minum apa?”
“Mmm…” si perempuan tampak menimbang-nimbang. Matanya menelusuri daftar pilihan minuman yang tertempel di samping tombol-tombol yang siap ditekan di mesin minuman itu.
“Milo panas?” si lelaki bertanya.
“Espresso.”
Si lelaki mengangguk, lalu menekan tombol sesuai pilihan yang baru saja dibuat perempuan di sampingnya itu. Cairan hitam pekat meluncur deras ke dalam gelas kertas yang ditempatkan tepat di saluran pengalir dalam kotak pembuat minuman. Hitam yang legam, seperti warna hitamnya iris mata perempuan di sampingnya, yang bisa membuatnya seperti tersedot dalam lubang hitam tanpa bosan berlama-lama terlarut dalam legam sihir matanya. Hitam yang disertai asap panas, sepanas gelegak yang ditahan-tahan lelaki itu dalam hati selama ini.
Padahal perempuan itu bukan penyihir. Bukan juga wajan berminyak bergolak ataupun panci berair mendidih. Bukan. Ia hanya perempuan yang kebetulan dinamai Arimbi oleh orang tuanya, yang kebetulan dengan cara yang ia sendiri tak mengerti, sanggup membuat lelaki berkapucon bernama Dherma itu tergila setengah mati, meski secara sembunyi-sembunyi.
Dherma menyodorkan gelas berisi espresso yang belum ditambah gula ke tangan Arimbi. Sementara Arimbi menambahkan gula dan mengaduk isi gelasnya, sebelah tangan Dherma mengambil gelas kertas lain dari tumpukan, lalu menekan tombol yang sama : espresso.
“Aku yang bayar, Mbi.” Di depan kasir, Dherma menahan tangan Arimbi yang merogoh tasnya, seperti mencari dompet.
“Beneran nih nggak pa-pa?”
“Kopi doang sih masih mampu.” Dherma nyengir, tanpa sengaja memamerkan taring gingsulnya.
“Terima kasih banyak. Semoga kembali lagi ke sini.” Ucap pelayan toko seusai memberikan uang kembalian pada Dherma, lagi-lagi dengan kalimat yang seperti terprogram.
Dherma dan Arimbi menggenggam gelasnya masing-masing dan berjalan keluar. Mereka menghampiri sebuah kursi panjang di dekat dinding parkiran toko. Arimbi menangkupkan kedua tangannya ke sekeliling badan gelas, seperti ingin menyerap panasnya, mengalahkan angin malam yang hari ini bertiup lebih menggigit dari biasanya.
“Jadi—apa kabar?” Dherma bertanya.
“Aneh deh. Nggak ada pertanyaan yang lebih kreatif? Kamu tau bener jawabannya apa.” Arimbi menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. Sesekali ia meniup minumannya dari lubang kecil penutup gelas kertas dalam genggamannya.
Dherma menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Ya abis mau nanya apa lagi.”
“Kelamaan nggak ketemu ya kita? Berapa lama sih? Dua taun ada ya?”
Dherma mengangguk tanpa menjawab. Padahal ia hafal betul bahwa mereka sudah tiga tahun empat bulan dua belas hari tidak bertemu. Sedetail itu Dherma mengingat? Iya. Sedetail Dherma mengingat dengan betul jajaran alis yang membingkai mata Arimbi, sedetail Dherma mengingat baju yang dikenakan Arimbi ketika terakhir mereka bertemu : kemeja kotak kecil bernuansa biru laut.
“Sibuk apa kamu sekarang?” Arimbi memulai ‘wawancara’.
Lalu mereka mulai bicara tentang apa saja, tentang ini-itu dan hal lain sebagainya. Mungkin tidak dari A sampai Z, tapi tetap saja membuat Dherma kembali mengingat urusannya dengan Arimbi yang belum pernah terselesaikan sejak dulu. Sejak dirinya terus menolak kenyataan yang diantarkan kepalanya bahwa hatinya telah tercuri Arimbi. Sejak dirinya terus tak mengakui dan menafikan kenyataan bahwa sebenarnya Arimbi bisa saja dia miliki, andai saja dia tak terlalu pengecut untuk mengambil satu langkah yang sebenarnya tak susah. Sampai akhirnya Arimbi pergi saat harus kuliah di kota lain, sementara keberanian itu tak juga terbit bibir dari Dherma.
Dan itu sudah tiga tahun lalu. Kalau nasi tentu sudah basi. Kalau wine mungkin sudah terfermentasi lebih mantap lagi.
Sekarang mereka bertemu lagi dalam suasana yang tentu sudah tak sama. Hanya satu mungkin yang tak sama : degup dada Dherma yang masih berketuk dengan lebih cepat secara berirama saat ada di sekitar Arimbi. Yang mungkin saja Arimbi tak tahu. Atau pura-pura tak tahu. Ah, entahlah.
Pertemuan ini yang membuat Dherma seperti menemukan keeping-keping jigsaw yang telah ia hancurkan sendiri beberapa tahun lalu. Layaknya balita menatap mainan kesukaan mereka, Dherma pun seolah merasakan hal yang sama : muncul niatnya merapikan potongan-potongan jigsaw itu ke bentuk seharusnya. Tentu saja dengan konsekuensi meninggalkan mainan baru yang sedang disusunnya. Maka saat di tengah obrolanya dengan Arimbi sebuah panggilan telepon masuk, Dherma melihat ke layar handphone-nya ragu-ragu.
Farah is calling…
Ia lalu menekan “reject”.
“Kok ga diangkat?” Arimbi menunjuk handphone di tangan Dherma dengan dagu.
Dherma memasukkan handphone ke kantong celananya, setelah sebelumnya menyetel mode suara ke ‘silent’.
“Nomer nggak kenal. Nggak penting. Mmm—Sampe mana kita ngobrol tadi. Mbi?”
Lalu Dherma kembali tersedot dalam pusaran yang sama : legam mata Arimbi. Sementara jauh dari tempat Arimbi dan Dherma kini berada, Farah menatap layar handphone penuh tanda tanya.
0 komentar:
Posting Komentar