About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Rabu, 21 Desember 2011

22 Desember 2011


Sepanjang perjalanan menuju rutinitas pagi ini, aku terus berpikir bagaimana seharusnya isi tulisan ini. sudah lama sekali rasanya kutinggalkan terapi relaksasi berupa susun-menyusun kata, berlarian dengan cerita, atau sekedar merutuki hal-hal kecil dengan sedikit bumbu bahasa surga.

Susah payah kutulis, kuhapus, tulis lagi, hapus lagi.
Tetap buntu.
Seperti ada lampu merah yg menghalangi untuk maju, kecuali ingin harakiri. Dan celakanya, lampu itu tak kunjung hijau memberi izin berlari.
Akhirnya aku menyerah saja, memasrahkan meski apa yg akan tertulis mungkin akan terlihat buruk, atau tak indah sama sekali. Tak peduli.

*

Mug besar milikmu yg mengepul berisi teh pahit panas di meja ruang makan kita mengingatkanku bahwa kita memang berbeda. Teh, bagimu adalah serupa belahan jiwa, bagiku hanya minuman yg bisa diganti dengan cairan lainnya. Aku tak suka teh berampas, sedangkan untukmu, daun teh adalah sejenis main course dalam gelas. Dikunyah dengan sepenuh hati, dinikmati dengan khusyuk sekali.
Aku suka teh bergula, sedang di matamu gula dalam seduhan teh adalah perusak rasa. Aku suka kopi masa kini, kau hanya suka kopi aroma.

Lihat? akui saja kita berbeda, tapi sadar tak sadar berbagi rasa yg sama : kasih sayang yg besar.
Baiklah..aku tau milikmu untukku jauh lebih besar dari yg mungkin bisa kuberi untukmu. Tentu saja itu tak pernah kupinta, dan kau memberinya secara cuma-cuma. Tanpa agunan, tanpa tagihan.

kemarin, saat di tengah dinginnya hujan kita melahap bakso di meja makan yang sama hanya berdua, diam-diam kuperhatikan wajahmu mili demi mili. Rupanya gurat di sana bertambah jumlahnya, beberapa kerut bertambah kedalamannya, namun senyum teduh itu tetap menyimpan kesaktiannya : meluruhkan duka, menguatkan jiwa.

Lalu aku teringat saat kita pernah terjebak dalam dua musim yang berbeda, terpisah jarak dan terpapar matahari dalam rentang waktu yang tak sama. Sesekali aku terserang malarindu, tapi sepertinya tak sehebat yg kau punya. Hampir setiap hari kau bertanya kabar, makanan, perjalananku, meski tak jarang terlalu letih untuk menjawab panggilan skype atau chat singkat darimu. Parah? Memang.

Maka tadi, meski aku bukan tipe manusia yang senang ikut merayakan apa-apa sesuai kalender dunia, kuucapkan juga kalimat itu : selamat hari ibu ya, bu..

Terima kasih, untuk jadi ibu yg baik dengan segala kekuranganku. Jika engkau perusahaan jasa, sudah kupastikan dirimu telah kaya raya dengan harta. tapi bukankah katamu, harta tak dibawa mati, kekayaan hati yang harus disirami? Selamat ibuku yg kaya ilmu, kaya cinta, kaya maaf, kaya sabar, dan kaya kaya lainnya.. Maaf untuk belum bisa menjadi sepenuhnya seperti yg ibu harapkan. Semoga Allah tetap mengizinkan kita bersama dalam waktu yg masih sangat lama.


I love you, inside out.
-Teteh-