About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Minggu, 15 April 2012

Jasmine Tea


Barangkali takdir sebuah kaleng minuman kosong yang tergeletak di tengah jalan adalah memang untuk ditendang. Maka di tengah serangan dinginnya udara malam, aku membantu menuntaskan takdir sebuah kaleng diet coke yang kutemukan di trotoar : ditendang asal-asalan tanpa tujuan, sampai akhirnya kutemukan tempat sampah, lalu kupungut si kaleng, mengantarnya pada kumpulan sampah lainnya di dalam sana, habitat barunya.

Setelah itu kakiku kembali mengayun, menyusur jalan yang semakin sepi. Orang waras memang akan lebih memilih diam di rumah ketimbang berjalan kaki sendirian di luar cuaca tak bersahabat begini. Jaket yang kukenakan rupanya tidak cukup hangat melindungi tubuhku yang kurus ringkih, terlebih di dalamnya bersemayam hati yang sedikit membeku diterjang badai salju.

Sebuah kedai minuman kecil yang tak jauh dari lokasi tempat sampah tadi seolah memanggil-manggil mengajak masuk.Kudekati ruko mini di jalan kecil di seberang sana. Ada papan kayu berukir nama kedai itu terpasang rapi tepat di atas pintunya : BANYU.

Tepat saat aku mendorong pintu kedai it, suara klenting lonceng berbunyi. Sang pramuniaga wanita dengan sigap menyapa, “Selamat datang!” dengan muka sumringah yang kurasa terihat dipaksakan. Ada gurat lelah yang tampak diantara kantung mata yang disembunyikannya dengan tumpukan bedak. Mataku berkeliling. Kedai ini tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga meja terisi. Satu diisi sepasang kekasih (mungkin, perkiraanku saja), satu meja diisi empat orang yang tampak serius berdiskusi dengan dua buah laptop menyala diantaranya, sementara satu lagi hanya diisi seorang lelaki yang sedang membaca Koran lebar-lebar hingga wajahnya tak terlihat sama sekali. Aku memilih duduk di kursi berkapasitas dua orang di dekat jendela, di samping akuarium berisi arwana.

Pramuniaga wanita yang tadi sigap menyapa kini sudah menyodorkan sebuah buku menu ke atas meja. “Silakan dipilih, kalau sudah mau order boleh panggil sa…”

“Satu cangkir jasmine tea panas, gula cairnya dipisah, sama satu slice tiramisu.” Aku memotong kata-kata Sang pramuniaga. Bukan karena alas an khusus, pun bukan karena aku sudah tahu isi menu di kedai ini sebab toh ini baru pertama kalinya aku berkunjung, hanya ingin cepat saja. Kurasa menu yang kupesan seharusnya ada di setiap kedai minuman semacam ini.


Setelah menguasai diri, pramuniaga itu tersenyum mencatat pesananku. “Ada lagi, mbak?”

“Nope. Sementara itu dulu aja.” Kukembalikan buku menu yang bahkan belum terbuka itu. Sang pramuniaga berbalik pergi kea rah dapur.

Aku melempar pandang kea rah jendela, menghela nafas panjang sambil membetulkan ikatan rambut yang merosot ke posisinya semula : menguncup tinggi seperti egoku sendiri.

Hangat di dalam sini, hingga kuputuskan melepas jaket yang kukenakan tadi. Sebuah tissue kertas menggiring tanganku meraih bolpen dalam saku, lalu menorehkan tinta di atasnya :

Duri, untuk sekian kali menancap tanpa ditanam

Lalu untuk apa kau tbuh sendiri?

Sememntara izin tak pernah terproklamasi

Maka mestikah kita menyalahkan pertemuan

Yang bermuara pada menyalahkan Tuhan atas perjalanan yang pernah diingini namun lalu terpaksa berhenti?

Mataku tersangkut pada meja berisi sepasang kekasih tadi. Lima jari si pria menaut tepat di sela lima jari tangan wanitanya. Lau sesekali mereka tertawa, entah membicarakan apa. Aku menelahn ludah, memilih memutar kepalaku kea rah arwana, siapa tahu bisa menemukan damai dibanding iri. Ah, yang kudapati hanya pemandangan seekor ikan besar bermulut monyong yang mondar-mandir seperti sedang fashion show tanpa busana.

Aku mencoreti semua tulisan dai atas tissue kertas tadi hingga tak satu pun huruf dapat terbaca lagi. Tidak sehat membaca ulang sesuatu tentang gundah yang belum berhasil dibelah-cacah.

Seorang pelayan (kali ini laki-laki) mengantarkan pesananku ke atas meja, menyajikannya dengan rapi, lalu pamit sopan mempersilakanku menikmati. Aku menganguk lalu menuangkan gula cair ke dalam cangkir berisi jasmine tea, lalu mengaduknya sepuluh kali seratus delapan puluh derajat searah jarum jam, dan mengangkat sendok the di titik tepat dimana tadi ia tercebur pertama kali. Begitulah caraku mengaduk gula dalam the. Tidak kurang, tidak lebih.

Aku mengangkat cangkir itu lalu aroma the melati menguar memenuhi rongga hidungm seperti mencoba menghangatkan setiap pori yang sudah disiggahi angin dingin sejak tadi.

Tiba-tiba saja pandanganku meremang, seperti tersaput banjir bandang. Rupanya tidak hanya kerongkonganku yang terhangatkan, tetapi sesuatu di dada kiri yang berdegup setiap saat ikut tercairkan, dan ujungnya pertahanan pada kelopak mata tak mau kalah ikut terlumerkan.

Bagaimana tidak? Secangkir jasmine tea tidak hanya menumpang lewat melintasi organ pencernaanku saja, ia juga berhasil mengantarkan setumpuk memori yang kupikir sudah disimpan dengan rapi, serapat gundukan tanah yang kini sudah mengabadikan ikatan tubuhmu dengan bumi di bawah sana.

Bara, apa kabarmu di sana? Apa Tuhan mengizinkanmu bernafas lega di surga-Nya?

AKu hanya bisa menyelipkan doa di sela setiap aku menghela.

Aku tahu kamu benci air mata.

Tenang saja, Bara, aku baik-baik saja. Asal kamu juga iya. Asal kamu bahagia di sana.