About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Minggu, 23 Januari 2011

Sepotong Kue Tanpa Adonan Terigu. Hanya Kata dan Setumpuk Doa


Selamat malam, ibu..
Kali ini aku tak akan menanyakan kabarmu, karena aku benar-benar tahu ibu baik-baik saja. Bahkan aku bisa pastikan sedang apa Ibu sekarang. Tentu saja, karena kita hanya terpisah puluhan anak tangga dalam satu atap yang sama meski dalam ruangan yang berbeda. Aku ditemani televisi yang meraung berisi acara mencari bakat-bakat membosankan, sementara Ibu, pasti sedang memandangi layar 14 inchi kesayanganmu dan mengetik ini-itu yang entah apalah itu. Bisa saja itu potongan hasil interview, atau jurnal-jurnal, atau laman milis teman kuliah? Entah.
 
Taukah ibu, saat ini aku seperti sedang merapal mantra. Tidak, tidak berhubungan dengan perdukunan atau apapun semacam sulap dan magic ala Dedi corbuzier—lelaki aneh hobi pake eyeliner itu—. Bukan. Bukan itu. Aku hanya sedang mengundang barang seribu-dua ribu kata dari susunan dua puluh enam aksara untuk bisa menulis surat ini untukmu.
Untuk apa? Ah, ya sedang mau saja.
 
Oke baiklah aku mengaku. Ini untuk ulang tahunmu. Masih ingat setahun lalu aku buat surat juga untuk Ibu? Kalau boleh kuberi tahu, kali ini membuat surat semacam itu sudah sangat sulit untukku. Entah karena otakku yang membeku atau jari ini tak terlalu lincah lagi menerjemahkan apa yang ingin kusemburkan tepat dari sumur yang paling dalam—hatiku, untukmu—. Tidak tahu.
 
Jadi malam ini, sengaja kubuka balkon lebar-lebar, terduduk (sok) manis di atas bangku dan memelototi bintang yang hanya satu-dua kutemukan. Maksudnya merangsang otak dan jari agar singkron membusakan kata-kata. Sayang sekali bu, kutunggu semenit-dua menit-tiga menit-sampai sepuluh menit selanjutnya, hasilnya tetap nihil juga. Jadi aku kembali ke dalam dan memilih nongkrong saja memandangi layar putih microsoft word di depanku. Ya seperti begini ini.
 
Inspirasi memang susah diundang, pun susah diusir ketika datang dengan tidak sopannya. Maka kali ini mari berterima kasih foto lama yang menggantung di dinding dekat pintu balkon rumah kita. Ada fotomu bersamaku di usiaku yang belum mencapai angka dua. Betapa melihat itu, tiba-tiba dadaku terpenuhi haru. Bahwa seharusnya aku bersyukur pada Sang Pencipta, karena sampai saat ini ibu masih bersamaku, menghirup udara dari lapisan atmosfer yang sama (meski kadang terpisah beberapa kilometer jauhnya antara Bandung-Jakarta), menyesap teh di pagi hari, membaca koran dan mengomentari film-film tak bermutu di televisi, dan segudang hal lain yang kadang luput aku syukuri. Terima kasih bahwa Tuhan masih memberi izin ibu menjadi saksi bumi mengelilingi mentari untuk ke empat puluh delapan kali.
 
Yang kupahami selama ini adalah bahwa waktu itu tidak berjalan. Ia berlari, dan tak mengenal kata kembali. Maka tugas kita adalah maju dan tak menengok lagi. Hanya saja kali ini aku ingin sedikit merefleksikan ibu dalam mata anakmu yang baru dua puluh dua kali menemanimu berulang tahun di bumi.
 
Ibu,
Dari mata ibulah aku tahu indahnya konstelasi. Seindah itu nyala semangat yang ibu simpan dan tularkan pada semesta raya, pada aku yang kadang semangatnya terjun bebas dengan sempurna lebih dari kecepatan air terjun niagara. Tidak berlebih jika kusebut nyala mentari terpancar dari matamu setiap hari.
 
Ibu, batariku..
Terima kasih untuk setiap untai doa yang bahkan aku tak tahu sebanyak apa.
Dan di hari ini, tepat saat ibu memperingati hari saat Tuhan mengizinkan tubuhmu merasakan sentuhan udara planet ini, biarkan aku yang mendoa, agar ibu selalu sehat, bahagia, dan diberkahi setiap detiknya. Seperti halnya unsur hara, maka ibu, aku, kita, dan semua makhluk-Nya sedang meniti satu garis yang akhirnya berujung juga. Semoga apa-apa yang ibu inginkan di dunia, serta kehidupan setelahnya dapat terwujud dengan sempurna.
 
Jika boleh aku meminta, jangan dulu henti mengiringku berlari. Jangan dulu lelah menemaniku menanjaki hari yang terjal dan tak berpelangi, jangan dulu bosan menemaniku merintis tumpukan mimpi diantara gerimis dan tangis.
Dan untuk setiap harap yang ibu titipkan di genggamanku tapi belum Tuhan amin-I, kumohon bersabarlah. Sekuat doa yang ibu kirimkan untukku di setiap akhir sujud-sujud panjangmu, sekuat itu pula aku akan mencoba berusaha menyajikan apa yang ibu pinta ke hadapan mata.
 
Bintang terhebat di pusat jagadku...
selamat bertemu lagi dengan mentari ke- tujuh belas ribu lima ratus tiga puluh dua! Tetaplah tersenyum untuk menyapa ribuan mentari lainnya, bersamaku.
 
 
With love, and tons of kisses
 
Teteh.