About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Selasa, 21 Desember 2010

Unfinished jigsaw


Jakarta, 20.47

Denting-denting cangkir yang beradu dengan sendok pengaduk sudah tak lagi terdengar. Tawa-tawa dalam berbagai tingkatan volume sudah tak lagi tertangkap telinga. Di kedai kopi sederhana di ujung jalan yang cukup sepi itu kini hanya tersisa puluhan gelas kotor yang menumpuk seakan mengantri minta dicuci. Seorang pelayan yang bertugas berjaga sampai kedai itu tutup masih sibuk merapikan meja-meja sebelum akhirnya menghampiri wastafel dan menghela nafas melihat tumpukan pekerjaan yang menanti di depan matanya.

Jauh di seberang kedai kopi itu, di depan sebuah toko 24 jam berlogo huruf ‘K’ berwarna merah menyala berdiri seorang pemuda tanggung berjaket tipis dengan bagian kapucon yang disangkutkan ke kepala. Ia tak sendiri, tapi bersama seorang perempuan berambut pendek setengkuk yang juga berjaket—hanya saja tidak dilengkapi kapucon--. Mereka lalu beranjak masuk ke dalam toko kecil itu. Penjaga toko 24 jam menyambut mereka dengan kalimat ‘selamat datang’ yang sudah terprogram seperti layaknya robot yang distel oleh Sang pemilik untuk berbunyi sesuai perintah.

Si lelaki berkapucon mengambil gelas kertas di samping coffee maker machine di pojok ruangan toko.
“Kamu mau minum apa?”
“Mmm…” si perempuan tampak menimbang-nimbang. Matanya menelusuri daftar pilihan minuman yang tertempel di samping tombol-tombol yang siap ditekan di mesin minuman itu.
“Milo panas?” si lelaki bertanya.
“Espresso.”

Si lelaki mengangguk, lalu menekan tombol sesuai pilihan yang baru saja dibuat perempuan di sampingnya itu. Cairan hitam pekat meluncur deras ke dalam gelas kertas yang ditempatkan tepat di saluran pengalir dalam kotak pembuat minuman. Hitam yang legam, seperti warna hitamnya iris mata perempuan di sampingnya, yang bisa membuatnya seperti tersedot dalam lubang hitam tanpa bosan berlama-lama terlarut dalam legam sihir matanya. Hitam yang disertai asap panas, sepanas gelegak yang ditahan-tahan lelaki itu dalam hati selama ini.

Padahal perempuan itu bukan penyihir. Bukan juga wajan berminyak bergolak ataupun panci berair mendidih. Bukan. Ia hanya perempuan yang kebetulan dinamai Arimbi oleh orang tuanya, yang kebetulan dengan cara yang ia sendiri tak mengerti, sanggup membuat lelaki berkapucon bernama Dherma itu tergila setengah mati, meski secara sembunyi-sembunyi.

Dherma menyodorkan gelas berisi espresso yang belum ditambah gula ke tangan Arimbi. Sementara Arimbi menambahkan gula dan mengaduk isi gelasnya, sebelah tangan Dherma mengambil gelas kertas lain dari tumpukan, lalu menekan tombol yang sama : espresso.

“Aku yang bayar, Mbi.” Di depan kasir, Dherma menahan tangan Arimbi yang merogoh tasnya, seperti mencari dompet.
“Beneran nih nggak pa-pa?”
“Kopi doang sih masih mampu.” Dherma nyengir, tanpa sengaja memamerkan taring gingsulnya.

“Terima kasih banyak. Semoga kembali lagi ke sini.” Ucap pelayan toko seusai memberikan uang kembalian pada Dherma, lagi-lagi dengan kalimat yang seperti terprogram.

Dherma dan Arimbi menggenggam gelasnya masing-masing dan berjalan keluar. Mereka menghampiri sebuah kursi panjang di dekat dinding parkiran toko. Arimbi menangkupkan kedua tangannya ke sekeliling badan gelas, seperti ingin menyerap panasnya, mengalahkan angin malam yang hari ini bertiup lebih menggigit dari biasanya.
“Jadi—apa kabar?” Dherma bertanya.
“Aneh deh. Nggak ada pertanyaan yang lebih kreatif? Kamu tau bener jawabannya apa.” Arimbi menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. Sesekali ia meniup minumannya dari lubang kecil penutup gelas kertas dalam genggamannya.
Dherma menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Ya abis mau nanya apa lagi.”
“Kelamaan nggak ketemu ya kita? Berapa lama sih? Dua taun ada ya?”

Dherma mengangguk tanpa menjawab. Padahal ia hafal betul bahwa mereka sudah tiga tahun empat bulan dua belas hari tidak bertemu. Sedetail itu Dherma mengingat? Iya. Sedetail Dherma mengingat dengan betul jajaran alis yang membingkai mata Arimbi, sedetail Dherma mengingat baju yang dikenakan Arimbi ketika terakhir mereka bertemu : kemeja kotak kecil bernuansa biru laut.

“Sibuk apa kamu sekarang?” Arimbi memulai ‘wawancara’.

Lalu mereka mulai bicara tentang apa saja, tentang ini-itu dan hal lain sebagainya. Mungkin tidak dari A sampai Z, tapi tetap saja membuat Dherma kembali mengingat urusannya dengan Arimbi yang belum pernah terselesaikan sejak dulu. Sejak dirinya terus menolak kenyataan yang diantarkan kepalanya bahwa hatinya telah tercuri Arimbi. Sejak dirinya terus tak mengakui dan menafikan kenyataan bahwa sebenarnya Arimbi bisa saja dia miliki, andai saja dia tak terlalu pengecut untuk mengambil satu langkah yang sebenarnya tak susah. Sampai akhirnya Arimbi pergi saat harus kuliah di kota lain, sementara keberanian itu tak juga terbit bibir dari Dherma.

Dan itu sudah tiga tahun lalu. Kalau nasi tentu sudah basi. Kalau wine mungkin sudah terfermentasi lebih mantap lagi.
Sekarang mereka bertemu lagi dalam suasana yang tentu sudah tak sama. Hanya satu mungkin yang tak sama : degup dada Dherma yang masih berketuk dengan lebih cepat secara berirama saat ada di sekitar Arimbi. Yang mungkin saja Arimbi tak tahu. Atau pura-pura tak tahu. Ah, entahlah.

Pertemuan ini yang membuat Dherma seperti menemukan keeping-keping jigsaw yang telah ia hancurkan sendiri beberapa tahun lalu. Layaknya balita menatap mainan kesukaan mereka, Dherma pun seolah merasakan hal yang sama : muncul niatnya merapikan potongan-potongan jigsaw itu ke bentuk seharusnya. Tentu saja dengan konsekuensi meninggalkan mainan baru yang sedang disusunnya. Maka saat di tengah obrolanya dengan Arimbi sebuah panggilan telepon masuk, Dherma melihat ke layar handphone-nya ragu-ragu.

Farah is calling…


Ia lalu menekan “reject”.

“Kok ga diangkat?” Arimbi menunjuk handphone di tangan Dherma dengan dagu.
Dherma memasukkan handphone ke kantong celananya, setelah sebelumnya menyetel mode suara ke ‘silent’.
“Nomer nggak kenal. Nggak penting. Mmm—Sampe mana kita ngobrol tadi. Mbi?”

Lalu Dherma kembali tersedot dalam pusaran yang sama : legam mata Arimbi. Sementara jauh dari tempat Arimbi dan Dherma kini berada, Farah menatap layar handphone penuh tanda tanya.

Sabtu, 18 Desember 2010

Postingan Sehari Setelah 1 Muharam

Kemarin adalah Tahun Baru Islam yang super menyenangkan buat saya. Saya janjian sama Neno,nama sebenarnya--mantan teman sekantor yang sekarang udah resign dan bahkan udah dapet tempat kerja baru--. Tanpa ada rencana mau ngapain, kita janjian di Pejaten Village sekitar siangan, setelah si Neno nyalon potong rambut. Udah tuh. Makan, ngobrol-ngobrol segala macem. Berhubung si Neno puasa, dia ga makan, saya doang yang makan. Jaahahahhah. Jadi biar ga mubazir nge-mall-nya saya sama Neno memutuskan untuk nonton sajah. Nonton apa? Narnia 3D, sodara-sodara. Iya, yang nontonnya pake kacamata itu loh *kalimat super norak

Udah dapet tiket (beli jam 3an buat yg jam 5), kita berdua jalan-jalan lah di penvill daripada busuk nunggu di XXI. eh taunya pas turun escalator, saya ketemu temen lama, yang dulu sekelompok waktu OSKM (OSPEK)! Dwi namanya. Dia anak geologi. Saya dan Dwi ini dibilang deket-deket banget juga nggak sih sebenernya, tapi cukup deket waktu jaman OSKM karena kemana-mana bareng. Kebeneran dulu saya di Kanyakan, si Dwi di Dago Pojok. Bahkan dulu saya pernah minjem kemeja flannel nya Dwi. Yaudah, ngobrol sebentaaarr banget (Cuma sejenis apa kabar-kerja dimana-sama siapa-mau ngapain) dsb, abis itu bubar kan sama si Dwi, karena ternyata dia sama temen-temennya yang lain (anak ITB juga, tapi saya ga ketemu temen-temennya sih) mau nonton cenah, tapi Harry Potter.

Udah tuh…
Sampai nonton, ga ada hal amazing lain. Selesai nonton (jam tujuh lewat-an) saya kan pengen pipis. Jalan lah ke arah toilet bioskop. Pasti penuh dong, itu WC bioskop. Tau-tau di lorong sebelum pintu toilet saya ketemu ANANDAYU which is my best best friend dari Bandung! Ga jadi lah pipisnya

Ya ampuuuun gilaaaaa! Saya sama ayu peluk-pelukan kaya teletubbies. Yakin deh semua orang sempet melirik ke kami karena ya tau sendiri mulutnya gabisa dikontrol kalo ketemu.
“ayuuuu!”
“Icuuuuttt!”
Serasa XXI milik pribadi jojorowokan (jejeritan). Yah adegannya mirip TKW pulang ke Indonesia ketemu sama emaknya. Yang mana yang TKW yang mana yang emaknya ga usah ditanya, ga penting.
Lama banget ga ketemu ayu. Beberapa kondangan di Bandung saya ga bisa dateng soalnya. Yang ada training lah, yang emang gabisa pulang ke Bandung lah. Pokoknya susaaaah buat ketemu. nggak susah banget-banget juga sih kalo dunia maya diitung ‘ketemu’. Wong bbm-an ampir tiap hari di group. Tapi kan sensasi nya beda kalo ketemu langsung. Bisa peyuk peyuk *unyu mode*, pegang-pegang, raba-raba –eh kesannya kok mesum—ya gitu lah…Cerita-cerita gimana aja sekarang, aplikasi ke ADS dia sama Ines sama Wawa gimana (yg ternyata failed juga). Terus kmaren si Ayu sama Ines kan sempet nanya-nanya jalan ke Jatinangor itu caranya gimana abis keluar tol ke saya. Ternyata mereka ikut seminar apaaa gitu di jetinenjer. Abis itu kita ngomongin pengen liburan.

Iya bangeeeet pengen bangeeeet! Kangen banget sama batu karas!
Ayu ngajak taun baruan, tapi belom tau ke mana. Cuma memang kita gabisa formasi lengkap lagi karena anak-anak udah pada nyebar. Si Ayu, Ines, Au di Bandung, Yuda di Bogor, Wawa di Bintaro, Fuady+Lia di Bekasi, Malendra+Saya+Zikri di Jakarta, Olin di Tangerang, Si Rafi di Hamburg (kumaha carana ti Hamburg balik ke sini buat taun baruan? Ga mungkin kaleee mending juga di Jerman main salju). Ya emang sih nyebarnya ga jauh-jauh amat kecuali Rafi, tapi tetep aja, semua jadwal idupnya udah beda. Kerjaan beda, lokasi beda. Terus lagian kata si ayu, kemungkinan Au gabisa diajak taun baruan, soalnya Radian—pacarnya Au, dokter yang berbulan-bulan kemaren bertugas di Papua—udah balik ke Bandung. Si Au pasti sama Radian, taun baruan dijamin nge-charge. Zzzzz,,,

Abis itu si Ayu ngajakin ke ujung genteng aja sebelum taun baru, which is liburan Natal. Semoga jadi…semoga jadi. Lama sekalski nggak mantai. Palingan yg nyetir si Yuda kali. Kecuali Malendra, Fuady sama Zikri ikut. Ga mungkin cewe2 yang disuruh nyetir soalnya medan-nya susah cenah (cenah da saya belom pernah ke ujung genteng. Kesian deh)

Neno terpaksa dikacangin, walaupun akhirnya saya kenalin juga ke Ayu. Kebetulan Neno itu temen kampusnya Rangga, pacar dari Wawa—salah satu genggong saya juga—sempit eh dunia?

ayu ternyata ke Penvil ini sama kembarannya (iye, dia kembar), Asti, yang skarang kerja di Cikarang. Terus sama sodara-sodaranya juga karena kebetulan salah satu sepupunya yang dari Jerman balik ke Indo, dan langsung ngajak main aja gitu. Si Ayu yang statusnya lagi free (yaiyalah wong hari libur) ya pasti langsung hajar main ke Jakarta. Dan berkat tangan Tuhan, saya dan dia dipertemukan dengan cara yang tidak terduga, di lorong menuju toilet (keterangan tempat kok merusak suasana ya). Kami berpisah pas ayu harus masuk ke studio. Kita nonton film yang sama Cuma jam nya yang beda. Saya jam 5, si ayu jam 7. Saya keluar, jeda sebentar, dia masuk. Ya gitu lah…
Bahagiaaaa deh rasanya. . coincidence 

Tapi bangun-bangun, sekarang ini, saat ini, saya mendadak sedih. Bukan apa-apa, tapi justru karena saya ngerasa udah kehilangan banyak hal yang dulu bisa bikin saya sangat menikmati hidup. Sahabat-sahabat, kehidupan kampus, pahit-manisnya 4 taun di kampus (walo kalo dipikir-pikir banyakan manisnya), berikut ga punya pacar. Ngok.
Oke iya lebay dan kedengeran kurang bersyukur memang. Saya bukan korban banjir, bukan korban tsunami, bukan korban gempa, gunung meletus, atau bencana alam lain. Saya juga masih punya kehidupan yang nggak bisa dibilang buruk-buruk amat. Saya punya pekerjaan, punya keluarga utuh harmonis, ga kekurangan uang atau apa. But still, I’m suffering in this loneliness. Jangan tanya soal kantor. Buat saya kantor emang Cuma buat kerja, ga diaduk sama sosialisasi di luar. Yah, pertemannan memang perkara cocok-cocokan. Di kantor sih nggak ada yang sebegitu klik-nya buat diajak temenan beneran (kecuali Si Neno yang kmaren saya ketemu itu. Itu pun udah resign kan dia). Di kantor ada juga memang member sosialita yang uwiw gayanya sejutaaaa (semilyar kali). Isinya Mahmud-mahmud (mamah muda) pleus seus-seus yang hobinya ajep-ajep, buang uang, dan pamer. In contrast, yang cupu super juga ada. Yang seumuran juga banyak sih, tapi tetep : ga klik. We are not on the same wavelength. Oh shit.
I’m missing my old times. #ingsreuk

Udah ah, kalo terus-terusan ditulis, bisa mewek beneran. Dunia nyata emang pait. See ya my blog! #ambil anduk #mandi
Catatan di suatu pagi dalam sebuah kamar, di rumah nenek, Jakarta Selatan.

Kamis, 09 Desember 2010

Mata Angin

“Jadi yang mana, Mbak?”
Pelayan toko eskrim yang berdiri di belakang etalase refrigerator kaca itu berkacak pinggang, menatapku dengan alis yang sebelah mengangkat. Dasar pelayan tak sopan! Berani-beraninya bersikap begitu di depan pelanggan.

“Bentar. Bentar.”

Mulutnya berdecak mendengar jawabanku barusan.
“Mbak, saya udah nanya sekitar enam kali. Mbak mau eskrim yang mana. Rasa apa, berapa scope, atau paket yang mana.” Nada bicaranya sudah mulai naik satu tingkat lebih tinggi dari terakhir kali dia bertanya.

“Terus? Ada aturannya mesti enam kali ditanya dan saya harus bilang saya mau milih apa?”

Sepertinya pelayan yang satu itu kehilangan kesabarannya. Dia meninggalkan tempat itu sementara rekan kerjanya langsung mengambil alih tugasnya, memasang senyum yang dipaksakan. Kali ini seorang wanita.

“Silakan, Mbak. Dipilih.”
“Ng…yang mana ya? Ng…” Lagi-lagi aku bingung melihat jajaran kotak-kotak berisi eskrim aneka rasa di depanku.

Di gerai eskrim dalam salah satu mall terkemuka ini, kebetulan sejak tadi hanya ada aku yang setia mematung sampai kini, sementara sisanya duduk manis di kursi-kursi bermeja bundar.

“Mbak, saya mau pesan!” Tiba-tiba di sampingku berdiri seorang lelaki kurus berbaju polo putih. Sepertinya dia seumuran denganku, di kisaran dua puluh awal. Ah, tapi mungkin dia baru belasan akhir. Atau jangan-jangan masih brondong? Saat ini banyak wajah-wajah yang menipu memang, tak sesuai umur. Ah tidak penting! Toh aku tak tahu siapa dia. Tentu saja kami tidak saling mengenal, karena barusan itu ia bicara dengan pelayan toko eskrim, bukan denganku.

Wanita pelayan toko es krim yang bernama Arini—tercantum di bet nama di seragam kerjanya—mengangguk sopan ke arahku, “Mbak silakan lanjutkan memilih, saya melayani mas ini dulu ya!”

“Oke.” Jawabku singkat.

Lalu mereka bertransaksi. Aku tak memperhatikan apa yang dipesan mas-polo-putih itu. Arini masuk ke balik pintu di belakangnya, bagian dapur toko. Sepertinya lelaki di sampingku ini memesan cukup banyak karena tak lama kemudian Arini kembali dengan membawa beberapa kotak yang siap diisi eskrim-eskrim.

“Bingung ya, mbak?” suara laki-laki itu terdengar.
Aku menoleh, takut-takut pertanyaan itu bukan buatku. Ternyata dia benar-benar bertanya padaku, bukan pada Arini si pelayan toko.

“Eh. Iya.”
“Kenapa nggak verry berry strawberry?” ia menunjuk gundukan eskrim pink
“Terlalu manis.”
“Kenapa nggak Chocolate?”
“Terlalu pait.”
“Kenapa nggak oreo cookies and cream?” ia menunjuk lagi gundukan eskrim putih bertabur biscuit coklat diantaranya.
“Rasanya nggak karu-karuan.”
“Maunya yang gimana?”

Sempat aku berpikir sejenak, sampai akhirnya menjawab, “Nggak tau.”
“Hah? Serius nggak tau yang kamu mau?”
Aku mengangguk.

“Gak suka terlalu manis, nggak suka terlalu pait, nggak suka yang aneh-aneh, dan nggak tau pengennya yang gimana.”

“Kalo dicampur semua?”
“Kamu pikir saya mixer?! Campur-campur. Rasanya pasti nggak enak!”
“Loh, belum dicoba udah underestimate.” Dia lalu beralih menunjuk ke arah refrigerator kaca. “Mbak, tolong buat campur ini-ini-sama ini.” Setelah itu menunjukku, “Buat mbak ini.”

“eh sembarangan. Enggak mbak! Saya nggak mau dicampur-campur begitu.”
“Saya yang bayar.” Mas-polo-putih itu menambahkan.
“Kamu pikir saya nggak mampu bayar?! Pokonya saya nggak mau!”

Pelayan toko bernama Arini itu menoleh sekali ke arahku lalu ke lelaki itu. Kepalanya menggeleng mengikuti arah pembicaraan, seperti orang sedang menonton bulu tangkis.
“Jadi gimana ini? Pesenan mas sudah saya bungkus, ini kembaliannya. Mbak jadinya pesen apa?” Arini akhirnya bicara. Ia menyodorkan pesanan mas-polo-shirt dan uang kembalian,

“Pilihan memang diciptakan untuk dipilih. Dan semua ada enak dan enggaknya. Tergantung selera. Nggak ada yang punya takaran yang sama dalam hal itu, begitu juga standarnya, pasti beda. Pait, manis, nggak karu-karuan, atau apapun kalau sudah dipilih ya dinikmati saja, toh?” Lelaki itu bicara panjang lebar sambil mengambil bungkusan dan memasukkan uang sisa ke dalam saku jeans-nya.

“…”
“Kamu pilih mint chocolate chips aja. Kepala kamu kebanyakan mikir. Butuh yang dingin-dingin. Trust me.”

Sok tau!

Ia lalu melengos, tapi sebelum pintu toko dibuka, ia sempat menoleh dan aku tertangkap sedang terus memandanginya dengan tatap sebal.
“In case kamu mau tau nama saya…” dia mendekat, menjulurkan tangannya.

Mau tak mau aku menjabat tangan itu, hanya demi alas an kesopanan.

“Mata Angin.”
“Apa?”
“Nama saya Mata Angin.”

Pantesan aneh, namanya aja aneh!

“Aneh ya?”
“Enggak sih biasa aja.”
“Bohong. Mata kamu nggak mesti melotot kalo nggak nganggep nama saya aneh. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Anehan kamu sih…milih es krim aja lama, gimana milih jalan hidup?”

Lalu lelaki yang mengaku bernama Mata Angin itu berbalik, membuka pintu toko lalu keluar. Benar-benar meninggalkan toko itu tanpa sekali pun menoleh lagi.

Siapa sih? Tiba-tiba muncul. Pake ceramah! Namanya aneh lagi! Sok kenal.heuh..

“Jadi pesen apa, mbak?” suara Arini memecah kekesalanku pada Si Mata Angin.

Kamu kebanyakan mikir. Terngiang lagi kata-kata Mata Angin. Aku merasa tertampar.

“Mbak?”
“Oke. Oke. Mint chocolate, satu.”

Entah perasaanku saja atau bukan, tapi sempat kulihat Arini menghela nafas. Mungkin dia lega akhirnya akan lepas dari customer labil sepertiku.

Terserah lah. Yang jelas hari ini aku sukses dibuat penasaran oleh sosok bernama Mata Angin.

Mata Angin, dari arah mana kamu datang? Ke arah mana kamu pergi?

Bahkan kompas pun tak bisa menjawab.

Rabu, 01 Desember 2010

Toilet tale


Kejadian hari ini di toilet kantor. Bermula saat saya pengen pipis dan tentu saja menuju toilet. Sebagai gambaran, toilet di gedung kantor saya tepatnya lantai saya itu adalah toilet yang bisa digunakan tidak hanya oleh staff sini, tapi juga oleh pengunjung yang bukan orang gedung sini, tapi sudah punya kartu id VISITOR buat melewati scanner gates. Nah, toilet perempuan di lantai ini entah kenapa WC-nya cuma satu. Jadi begitu masuk toilet, kita akan nemuin jajaran wastaferl, dan satu bilik WC sahajah.

Nah, waktu saya masuk toilet, di depan jajaran wastafel kebetulan di dalem lagi ada Nelly, salah satu temen kantor yang juga lagi ngantri.

Saya : Udah ke toiletnya, Nel?
Nelly: belom..
Lalu kami ngobrol ke sana-sini ngomongin orang. bababahahahha
Lama-lama kok dipikir-pikir lama amat yah orang yang di dalem bilik WC. Abis itu si Nelly nyeletuk, "duh, sakit perut nih gue"

Spontan saya histeris, panik, jungkir-balik dan gelisah *oh, lebay. enggak. enggak gitu kejadiannya. saya cuma bilang, 'yah Nel, jangan boker di sini plis..abis lo pake kan WCnya gue pake. Di lantai tiga aja gih..."
Lalu keajaiban terjadi.
hidung kami menangkap aroma-aroma jengkol, pete, dan sejenis itulah menyeruak entah dari mana.

Nelly : kok bau yah?
Saya : eh, iya iya...bau warteg gini ya...

Abis itu terdengar suara flush kenceng dari dalem WC.
Saya dan Nelly berpandang-pandangan. Saya memandang Nelly, Nelly memandang Saya. Alis berkerut, mulut merengut, hidung ditutup.

Nelly bersabda, "Lo duluan deh ke WCnya."

Sementara itu nggak lama, seorang ibu-ibu keluar dari WC terkutuk itu. Si ibu itu nyamperin wastafel dan bilang, "iya yah, bau yah! Tadi tuh pasti orang sebelumnya yang pake!"
setelah cuci tangan, si ibu keluar dari WC.

Nelly sama saya masih pandang-pandangan. Dikasih lagu india dikit pasti joget nih kita berdua.
Nelly : Boong abis tuh..alibi tu ibu-ibu...tadi gue masuk belum bau. Sana gih lo duluan.

Dengan berat hati saya masuk ke WC itu. tapi urung pipis karena males mendaratkan pantat di WC bekas boker orang. Saat itu memang niat saya ada dua : pipis dan benerin tali...ya tali itu lah...copot sebelah soalnya.
Kenapa bisa copot jangan tanya. Saya juga ga ngerti. Longgar kali.. (ah yeee brarti kurusan :p)

yaudah lah...
intinya, moral ceritanya adalah...buanglah air pada tempatnya. TANPA BIKIN ORANG MENDERITA.