About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Sabtu, 23 Juni 2012

Inception


Sore tadi saya terbangun dari tidur yang sebenarnya tidak sengaja. Tahu apa itu tidur tidak sengaja? Saat kalian sedang menggeletakkan diri di atas kasur, mengutak-atik handphone atau membaca, lalu ternyata tidur begitu saja. Lelap seperti ayam petelur sehabis menelan obat tidur (oh yes, terdengar seperti ayam kurang kerjaan atau ayam depresi) Nah, seperti itulah kira-kira.

Sore itu pula saya ingat hampir semua apa yang saya mimpikan selama tidur siang. Bukan bermaksud memirip-miripkan apa yang terjadi dengan Leonardo Dicaprio, tapi saya memang bermimpi di dalam mimpi. Seperti Leo dalam Inception. Ya ya, ini memang keterangan yang tidak perlu untuk diperdebatkan, karena bukan actor utama Titanic itu yang akan dibahas di sini, tapi isi mimpi tadi.

Kata orang, mimpi adalah bunga tidur. Tidak tahu kenapa bisa disebut begitu. Apa tidur itu sendiri pohon, atau air atau pupuk? Entah. Yang pasti mimpi siang tadi berhasil membuat saya terpaku duduk di atas kasur dengan mata yang setengah basah, lalu mengirim beberapa bait doa secara tiba-tiba.  Doa, yang beberapa waktu belakangan ini alpa saya kirimkan untuk dia yang saya temui dalam mimpi tadi. Tidak secara langsung saya temui, tapi saya mimpikan dalam mimpi yang isinya saya sedang bermimpi, Pusing? Baiklah, kita sebut saja kami bertemu di mimpi level dua.

Di sana, saya bertemu Apa’. Beliau memakai setelah baju yang sering dipakainya saat berdinas dan selalu terekam di kepala saya : safari putih, celana kain putih, sampai sepatu pantofel putih, dengan rambut yang tersisir rapi lengkap dengan poni mengkilap akibat minyak rambut. Di sana beliau mengajak saya berbincang, tertawa, bercanda, sementara saya hanya bisa menatapnya nanar, seolah tidak percaya kami bisa bertemu lagi.
Lalu bulir air pun menggelontor dari mata saya, seperti banjir musiman di ibukota : sulit berhenti. Beliau malah tersenyum kecil dan kawed (istilah bahasa sunda untuk gesture bibir mengatup melipat ke dalam mulut menunjukkan rasa gemas), lalu merengkuh saya, seolah saya masih TK, seperti saat saya masih belajar A-ba-ta-tsa.


Dalam dekap hangatnya, saya lancar bercerita-mengeluh lebih tepatnya-. Tentang ini-itu, tentang apa yang saya takutkan akhir-akhir ini, tentang keresahan dan khawatir yang sulit sekali diusir. 
Sementara beliau dengan sabar mendengarkan, mengelus kepala saya dan berpesan bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa setiap pedih adalah harga yang harus dibayar untuk kebahagiaan di belakangnya. Dia juga berkata bahwa saya akan mendapatkan yang saya minta asal tetap berdoa.  Berdoa apa saja. 
Tidak ada yang tidak mungkin, bahkan jika Tuhan ingin, bumi pun bisa dibentukNya menjadi limas segitiga. 


Lalu saya melonggarkan dekap itu, mencari mata tajam nan penyayang miliknya. Segera setelah tatapan kami beradu, saya bertanya “Apa’, apa kabar? Sehat?” Seolah tidak ada yang berbeda. Seolah kami masih dalam alam yang sama. Rasanya seperti bertanya pada sosok yang selalu memintaku mengunjunginya tiap liburan tiba. Rasanya masih sama seperti saat berbincang dengan kakek yang selalu membelikan saya serabi hangat di pagi buta setiap menginap di rumahnya.

Lalu dia tersenyum dan bibirnya membentuk kata “Alhamdulillah” tanpa suara. “Jangan sedih lagi, ya!” kali ini ia bersuara, sambil menyeka bagian basah di pipiku yang masih bersisa.

Tapi lalu tiba-tiba warna di sekeliling kami memudar sedikit demi sedikit. Seperti goresan pensil yang disentuh penghapus karet. Apa’, termasuk objek yang kemudian memudar dan akhirnya hilang.

Dari mimpi itu, saya terbangun dalam kondisi sesegukan. Saya tertidur di tepi sebuah telaga. Tapi tak lama kemudian telaga itu ikut memudar beserta semua benda di sekelilingnya. Barulah setelah itu saya benar-benar terjaga. Di atas sebuah kasur bersprei jingga. Di kamar saya.

Mungkin ini bisa disebut sebagai rindu yang tidak terasa. Sudah lama sejak terakhir kali saya mengunjunginya, menaburkan beberapa genggam kelopak bunga yang dicacah dan helai pandan yang dibelah-belah, membasahi permukaan persemayamannya dengan air bening dingin. Saya merasa sebenar-benarnya durhaka. Terlanjur tenggelam dengan keinginan ini-itu, kepusingan di sana di situ.

Apa’…
Maafkan cucu yang akhir-akhir ini khilaf mendoa.

Maka kali ini saya tebus dengan doa khusyuk dalam hening. Bukankah doa tidak harus diucap di depan pusara? Bukankah Tuhan mendengar setiap doa dari mana saja, yang diucap sepenuh jiwa?

Semoga Apa’ baik-baik saja. Semoga rahmat Allah selalu menyertai Apa’. Terima kasih untuk menemuiku meski hanya sekejap mata. Terima kasih untuk ketenangan yang Apa’ suntikkan lewat pelukan (meski maya). Terima kasih untuk berkunjung meski hanya dalam mimpi di level dua. Aku janji, aku akan baik-baik saja, dan jika Tuhan mengizinkan, akan tetap membuatmu bangga. Yang tenang di sana ya, Pa’…

Miss you,
Teh Ica.