About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Minggu, 25 Maret 2012

(un)faithful

“Halo?” Perempuan bertampang kusut itu menjawab panggilan di telepon genggam yang sudah berdering sekitar 5 kali, setelah sebelumnya menyeka ingus yang mengalir deras.

“Yaelah, masih aja?” suara perempuan satunya di seberang sambungan telepon sana terdengar berkomentar tanpa basa-basi.

“Apanya yang masih?”

“Mewek-mewek telenovela.”

“Ini flu.”

“Berani tarohan nggak, kalo bohong masuk neraka paling jahanam dari segala jenis neraka?”

“Gak cukup ya idup gue mirip neraka sampe masih harus disumpahin? Baik banget deh lo.” Perempuan berwajah kusut yang sebenarnya berparas cantik itu memutar bola matanya, skeptic, lalu melempar tubuhnya sendiri ke atas spring bed bersprei biru langit.

“Ya nggak gitu, maksud gue. Ya udah sih, nggak usah dinangisin terus. Buang-buang energi.”

“Daripada gila.”

“You are.”

“Ya gimana nggak gila gue, Nes, bayangin aja…ketipu tau nggak sih ini judulnya?! Lo tau kan gimana gue cinta mati sama Willy…”

Lalu mengalirlah cerita dari bibir tipis perempuan berwajah kusut bernama Rissa itu setengah emosi, pada telinga sahabat wanitanya di ujung telepon sana, Vanessa. Cerita yang berulang-ulang dikeluhkan Rissa dalam narasi yang berbeda sekitar seminggu ini membuat Vanessa hampir hafal urutan ceritanya. Ia bahkan sempat mengambil gelas di dapur dan mengisinya dengan air dari galon, baru kemudian menempelkan lagi gagang telepon ke kupingnya, sementara Rissa masih dengan menggebu-gebu bicara tanpa henti seolah ada kuping Vanessa mendengar semuanya, padahal tidak.

“Nes, denger gue gak sih? Kok diem aja?”

“Denger kok, denger. Ya abis mau komentar apa lagi coba? Kan udah dibilang, udah deh, move on.”

“Move on gampang. Yang susah Let Go!”

“Mulai deh, berfilosofi.” Kini giliran Vanessa memutar bola matanya, mengempaskan tubuhnya, kali ini ke sofa mini di samping ranjangnya.

“Ya gue juga nggak mau begini sebenernya. Si brengsek itu emang bener-bener kurang ajar. Bisa-bisanya nyolong hati gue sejauh ini. Demi perempuan lain yang sampe sekarang belom gue tau siapa. Shit.”

“Yakin banget sih kalian bubar gara-gara perempuan lain. Ada buktinya?”

“Pasti, Nes. Intuisi gue yang bilang. Dan itu jarang salah. Satu diantara seratus lah palingan salahnya. Kali ini gue rasa bener. Kalo sampe, gue nemu tu cewek…”

“Mau diapain? Digampar? Dijambak? Lah…yang brengsek kan bukan perempuan itu, Sa. Tapi laki lo. Lagian, pertanyaan selanjutnya : emang lo udah bener-bener usaha mempertahankan Willy? Coba lo tanya diri lo sendiri : sudahkah lo jadi tempat berlabuh yang tepat buat Willy sampe dia nggak perlu cari pelabuhan lain?”

“Lo kok jadi belain Willy?! Jadi belain perempuan itu?” Nada bicara Rissa meninggi.

“Perempuan yang belom tentu ada.” Vanessa mengoreksi, lalu melanjutkan, “Listen to me, dear Rissa. You deserved better. I guarantee.”

“Lo bilang gitu karena lo gak tau rasanya, Nes. Gue pikir Willy orangnya. Yang terakhir.” Rissa memelankan suaranya, sudah terlalu lelah dengan matanya yang memberat.

“Yang ternyata bukan. Oh well, inget deh Sa, orang datang di hidup kita nggak melulu sebagai anugerah, tapi sesekali juga Cuma sebagai pelajaran. In this case, Willy is the second one.”

“Lo beruntung ya, Nes… punya Danar.”

“Yes, I do. Tapi kita nggak pernah tau dengan siapa kita akan berakhir. Jodoh, itu masih misteri.”

Bel apartemen Vanessa tiba-tiba berbunyi. Ia melirik jam di samping kasurnya. Jam 11 malam. Perlahan ia membuka pintu, lalu mendapati seseorang berdiri di depan sana. Matanya membulat, buru-buru mendaratkan telunjuknya ke bibir sang tamu, pertanda larangan bersuara.

“Sa, mendingan lo sekarang istirahat ya…jangan nangis-nangis lagi. Besok kerja kan?”

“Dunno. Gue gak enak badan.”

“Ya udah. I’ll call you later ya!”

“Thanks ya, beibo.”

“Nevermind. Nitey nite, darla…”

KLIK.

Vanessa membalikkan badannya dengan disambut pelukan hangat tamu yang sudah masuk dan mengunci pintu.

“Kangen kamuuu, sweetheart…”

“So do I, sugar…” Willy mendaratkan sebuah kecupan pelan di bahu Vanessa.

Sementara itu, Rissa memandang layar smartphone nya setengah merasa bersalah.

Danar : Cha, mau aku bawain KFC ke sana? Kamu belum makan dari siang, sayang…