About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Selasa, 28 Juli 2009

KANAYAKAN TALE



Inget gak lo?
Agustus 2005 adalah awal pertemuan kita. Saat gw br pertama kali menempati ruang kamar selain kamar gw sendiri di rumah, yg gw sewa buat beberapa waktu ke depannya. Kalo hari itu adalah Jumat, berarti lo dateng hari Sabtu, karena umur lamanya kita tinggal di bawah atap yg sama cuma beda sehari. Gw inget bgt, hari itu gw masih ditemenin ibu, lo masih ditemenin mama. Gw cuma liat lo dari celah pintu kamar lo yang setengah kebuka, dan kita cuma saling menyapa lewat senyuman & anggukan sopan.

Siapa sangka kita tahan idup bareng hampir 3.5 taun. Tiga setengah taun. Bukan waktu yang singkat. Selama itu, lo, jadi orang yang selama 5-6 hari idup bareng gw, sementara kluarga gw aja cuma 1-2 hari seminggu. Lo, jadi orang yang bisa gw jadiin tempat ‘pulang’ saat gw merasa ga punya ‘rumah’. Lo, jadi orang yang bisa gw jadiin ‘tempat sampah’ saat gw ngerasa gatau harus buang ‘sampah’ di mana sementara tumpukan ‘sampah’ itu makin menumpuk.

Walo gw tau, gak semua cerita kita bagi.

Gw tau banget ada hal-hal yang lo simpen sendiri, atau lo buang di ‘tempat sampah’ lain, karena gw juga melakukan hal yang sama. Tapi justru itu yang bikin gw selalu ngerasa nyaman. Nggak pernah sekali pun ngerasa terintimidasi. Lo, terima gw apa adanya, seada-adanya, ga membatasi, ga memaksa. Dengan lo, gw gak pernah merasa lebih, ataupun kurang. Cuma merasa terlengkapi.

Dan tadi pagi, gw mengantar lo ke gerbang baru babak hidup lo. Gw seneng banget liat pancaran bahagia dari mata lo, dengan atmosfer yang sempurna, yang gw harap gw juga yang membuat kesempurnaan itu tercipta.

Gw ikut bahagia untuk kebahagiaan lo. Yang gw rasa sampe tadi sore pun masih bahagia. Waktu gw melihat lo dgn balutan kebaya ijo tadi pagi, peluk lo dan bilang selamet, gw masih baik-baik aja. Waktu gw makan siang dengan lo, keluarga dan sahabat2 lo, gw masih fine-fine aja. Waktu kita foto-foto di studio, gw masih cengengesan. Bahkan waktu lo drop gw di gerbang belakang kampus, gw masih ga gimana-gimana.

Sampe barusan, malam ini, kok tiba-tiba gw merhatiin foto-foto di cermin dan beberapa frame gw, yang isinya foto-foto tolol kita. Mengingatkan gw bahwa betapa banyak hal yang udah pernah kita lalui bersama. Dari yang normal sampe yang amit-amit. Dari yang sehat sampe yang sakit(jiwa+raga).
Inget gak lo, waktu lo keram usus ampe ga bisa jalan? Gw bolos kuliah, buru-buru pulang, anter lo ke Rumah Sakit. Dan waktu itu ujan. Kita, si mini-mini ini berpayung berdua, pelan-pelan menyusuri lorong Borromeus buat nyari dokter.

Inget gak lo, waktu gw sakit, muntah-muntah g bisa makan, lo yang pergi beliin obat, bikinin gw teh manis, pijitin gw sampe ga sadar tidur ampe besoknya.

Inget gak lo, kita lebih sering ngosongin salah satu kamar kita untuk sekedar tidur berdua. Entah kamar lo, entah kamar gw.

Dan sejuta ‘inget gak lo’ lain yang ga bakal cukup gw urai satu per satu.


Dan gw sekarang agak sedih.

Sadar bhwa ga akan ada lagi yang malem-malem ngetok-ngetok kamar gw cuma minta dipijitin, janji bakan mijitin gw balik, tapi seringnya ‘tewas’ duluan sebelun nepatin janji.

Ga akan ada lagi malem-malem nonton DVD plus bertukar gosip hangat kampus masing-masing ampe ujung2nya kita yang DITONTON DVD, bukan kita yang NONTON DVD.

Ga ada lagi yang tiba-tiba buka pintu kamar gw buat bilang, “Ca, gw brangkat kuliah dulu y! Lo balik jambret?”

Ga akan ada lagi yang buru-buru buka pintu kamar gw sambil ngeluh, meringis-ringis kesakitan di mulut gara2 baru ngencengin kawat gigi di dokter.

Ga akan ada lagi yang nempelin post it geje di pintu kamar gw yang isinya ‘awas ati-ati ada pocong nyuci BH d kmarmandi lo’ atau ‘gw pulang k Jkt lgs dr kmpus ntr sore ya, tengkyu mouse nyah’, blablabla

Dan sejuta ‘ga akan ada lagi yang’ begini-begitu.


Trus gw kluar kamar, ngeliatin pintu tepat di sebrang pintu kamar gw, which is pintu kamar lo.
Baru ngeh, gw ga akan lagi bisa ngetok pintu itu buat ingetin lo kuliah pagi.
Gw ga akan lagi berkali-kali ngegedor pintu itu biar lo bangun sahur.

Gw ga akan lagi ngeliat muka lo nongol dari balik pintu dengan jigong masih dimana-mana, trus protes gara2 dibangunin subuh-subuh.

Gw ga akan lagi ngetok-ngetok kamar lo dan merengek minta tidur sekamar gara-gara ketakutan.

Gw ga akan lagi ngetok pintu itu dengan semangat ’45 pas pulang kuliah, cuma buat bilang, “Ka, gw punya DVD asoy baru nih!” dan mendapat pendar seneng dari cengiran usil lo.

Dan sejuta ‘gw ga akan lagi’ begini-begitu.


Hmmm…
Sebenernya udah sesemester ini gw terbiasa ga ada lo, karena lo udah jarang di Bandung. Kalopun ke Bandung cuma PP, langsung balik Jakarta.
Gw tau mungkin ini kedengeran lebay, tapi asli, malem ini gw kangen lo, Ka!
KANGEEEENNNNN BANGET.

Ha!
Termejret-mejret mode : ON.

IKAAAA…selamet ya udah wisuda, my sister!
Gw menyusul, segera.
Doain ya sayang!
Cup cupsss…

Senyata Setia Tya

Tya memegang gulungan kertas itu di tangannya. Diremasnya kuat-kuat, diempaskannya ke lantai penuh emosi. Dadanya naik turun, akibat nafas tersengal menahan amarah.

Diliriknya lagi kertas yang sudah tak jelas bentuknya itu. Tya memungutnya lagi, dibukanya perlahan. Tak ada yang berubah dari isi gulungan acak-acakan itu. Masih seperti tadi, saat pertama kali Tya membacanya.

Ini benar-benar nyata, bahwa yang ada di genggamannya kini adalah undangan. Undangan pernikahan Andra.

Dipandanginya setiap kata di kertas ringsek itu sampai tepat berhenti di nama ‘Hasnani Sunaji’. Bibirnya naik setengah, sinis, disertai padnangan melecehkan.
Nama macam apa yang bersanding dengan nama Andra di kertas itu?! Sungguh tidak pantas. Apa Andra sudah turun selera sampai sampai memilih istri bernama aneh begini?!
Tya merasa terhina.
Bagaimana bisa Andra mengganti posisi Tya sebagai orang nomor satu di hidupnya selama ini dengan seorang wanita bernama Hasnani?

Tya sadar memang selama ini dirinya dan Andra tidak pernah bisa seperti pasangan lainnya. Hubungan meeka terbatas tembok yang terlalu tinggi untuk dilompati, terlalu panjang untuk dikitari dan terlalu kuat untuk dirobohkan.

Dulu, Tya dan Andra mulai saling mengenal semasa kuliah. Tak ada yang istimewa awalnya, karena pada dasarnya mereka makhluk pada kasta yang berbeda. Tya bagai kaum Brahmana, sedangkan Andra hanya seorang Sudra. Tya memiliki perspektif burung, yang melihat segalanya jauh dari atas sana, sedangkan Andra berprespektif katak, yang untuk memandang horizon saja dia harus mendongak.

Namun di sini lah tangan takdir berbicara. Di akhir-akhir masa kuliah mereka, rasa itu terledakkan. Tak terelakkan bagi mereka, tetapi tetap tak akan pernah disuarakan pada dunia.

Tya dan Andra sepakat mengunci cerita ini hanya untuk mereka berdua saja. Tak perlu sehelai daun pun di luar sana tahu. Bahkan telinga mereka sendiri pun tak diizinkan menguping tiap degup yang ditukar kala mereka bercuri pandang. Tidak boleh ada yang tahu. Ini murni hanya untuk dinikmati oleh seorang Andra dan seorang Tya. Tidak kurang, tidak lebih.

Mereka menutup ini dengan rapat. Begitu rapi seperti kemeja yang baru terkena sengat setrika. Hubungan yang tak tersentuh. Bahkan drama ini terus berlanjut selepas keduanya menyandang toga.

Semua terasa mudah setelah lepas dari komunitas lama. Sampai suatu hari, 3 tahun lalu Andra memutuskan untuk mengakhiri segala yang pernah ia bagi bersama Tya. Menyudahi setiap detik penuh intrik yang pernah dilewatinya dengan susah payah agar gengsi Tya tetap terjaga, bertengger di atas sana, kokoh angkuh tidak tergoyah.

Sudah cukup baginya menjadi alas kaki Tya. Tya yang mengaku cinta mati padanya jika semua pintu telah terkunci rapat dan semua jendela telah tertutup tirai. Tya yang memberikan seluruh kehangatan yang dimilikinya hanya jika telah yakin bahwa tak ada seekor burung pun mengintai mereka berdua dalam radius 1 meter.

“Kita sudah selesai.”
Itu kalimat terakhir Andra dalam perdebatan sengit antara Andra dan Tya, malam itu 3 tahun yang lalu, sebelum akhirnya Andra membalikkan badan tanpa menoleh lagi sekali pun.

Kala itu Tya terpuruk. Padahal dia sudah berani melempar harga dirinya jauh jauh di kaki Andra, berusaha menahannya agar tidak berbalik pergi. Tya bersedia mengumumkan pada dunia tentang mereka. Jika perlu Tya bisa membawa Andra pergi sejauh-jauhnya, ke luar negeri, untuk memulai hidup yang baru tanpa siapa pun tahu siapa mereka sebelumnya.
Uang hanya perkara tahi lalat untuk Tya.
Tapi keputusan Andra sudah bulat : mereka harus berpisah. Titik.

Sejak itu Andra benar-benar hilang tertiup angin. Tahun pertama tanpa Andra, bagi Tya adalah neraka. Pencariannya berujung nihil. Andra menjelma seperti makhluk purba : nomaden. Hingga jejaknya menjadi barang langka.

Tahun kedua Tya putus asa dan mencoba mengubur Andra dari setiap sel otaknya. Tya mendetox semua racun sumbangan dari Andra yang terlanjur mengaliri nadinya.
Tya membuka lembaran baru dengan yang lain, meskipun separuh jiwanya mengakui detak itu masih milik Andra.

Di tahun ketiga ini, ternyata Tya mendapatkan pencerahan tentang keberadaan Andra. Sayang, ini bukan seperti harapannya. Yang menemuinya adalah segulung unduangan pernikahan dari Andra. Gulungan yang kini ada dalam genggaman kerasnya. Kali ini dirobenya kertas itu, dibuangnya ke tempat sampah.

Ting tong ting

Bel apartemen Tya berbunyi. Tya buru-buru menyusut air matanya. Berlari ke wastafel, membasuh wajah, dan mematut diri di kaca.

Ting tong ting
“Iya bentar!” Tya segera membukakan pintu. Seorang wanita telah berdiri mengunggu di sana.
Tersenyum sempurna, Tya meminta maaf, “Maaf ya lama!”
“Lagi ngapain sih kamu?” wanita itu protes sambil melangkah masuk. Dia llangsung duduk di sofa empuk nan nyaman di ruang tengah.
“Mau minum apa?”
“Jus apel boleh deh”

Tya mengambilkan jus apel botolan dari kulkas, menuangkannya ke dalam dua gelas. Lalu dia duduk di samping wanita tadi, menyuguhkan minuman itu.
“Thank you!” wanita itu tersenyum manis, meneguk minuman di tangannya dengan bernafsu.
“Wow, haus apa doyan?”
“Dua-duanya!” wanita itu menepuk halus lengan Tya. Lalu seperti teringat sesuatu yang penting, dia beringsut mengambil tasnya meja.

“Eh, liat deh! Aku bawa contoh undangan.”
Wanita itu mengeluarkan sebua undangan kotak tebal dengan bentuk ukiran di sana-sini. Dengan semangatnya dia berceloteh, “Nih, bagus gak, Mas? Kita pesennya kombinasi ungu sama off-white gitu ya! Terus, ini tulisan nama aku sana kamunya mesti warna emas plus glitter. Kan bagus tuh :
Prasetya dan Vania.”

Mata Prasetya melah tersangkut di tempat sampah tempat ia membuang undangan Andra.
“Terus yaaa…ini undangannya bisa dijadiin frame foto loh! Jadi berguna kaaann?”
“…” Prasetya mematung.
“Mas Pras denger aku nggak sih?” Vania mengalihkan wajah Prasetya dari lamunannya.
Gelagapan, Prasetya menjawab, “Iya,,iya, aku denger.”
“Apa coba?”
“Itu kan…undangan.”
“Iyaaaa…Bagus nggak nih?” Vania kembali mengamati, atau lebih tepatnya mengagumi contoh undangan di tangannya.
“Bagus. Bagus.” jawab Prasetnya datar.

Matanya menoleh lagi ke tempat sampah.

Ω Ω Ω Ω