About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Selasa, 28 Juli 2009

Senyata Setia Tya

Tya memegang gulungan kertas itu di tangannya. Diremasnya kuat-kuat, diempaskannya ke lantai penuh emosi. Dadanya naik turun, akibat nafas tersengal menahan amarah.

Diliriknya lagi kertas yang sudah tak jelas bentuknya itu. Tya memungutnya lagi, dibukanya perlahan. Tak ada yang berubah dari isi gulungan acak-acakan itu. Masih seperti tadi, saat pertama kali Tya membacanya.

Ini benar-benar nyata, bahwa yang ada di genggamannya kini adalah undangan. Undangan pernikahan Andra.

Dipandanginya setiap kata di kertas ringsek itu sampai tepat berhenti di nama ‘Hasnani Sunaji’. Bibirnya naik setengah, sinis, disertai padnangan melecehkan.
Nama macam apa yang bersanding dengan nama Andra di kertas itu?! Sungguh tidak pantas. Apa Andra sudah turun selera sampai sampai memilih istri bernama aneh begini?!
Tya merasa terhina.
Bagaimana bisa Andra mengganti posisi Tya sebagai orang nomor satu di hidupnya selama ini dengan seorang wanita bernama Hasnani?

Tya sadar memang selama ini dirinya dan Andra tidak pernah bisa seperti pasangan lainnya. Hubungan meeka terbatas tembok yang terlalu tinggi untuk dilompati, terlalu panjang untuk dikitari dan terlalu kuat untuk dirobohkan.

Dulu, Tya dan Andra mulai saling mengenal semasa kuliah. Tak ada yang istimewa awalnya, karena pada dasarnya mereka makhluk pada kasta yang berbeda. Tya bagai kaum Brahmana, sedangkan Andra hanya seorang Sudra. Tya memiliki perspektif burung, yang melihat segalanya jauh dari atas sana, sedangkan Andra berprespektif katak, yang untuk memandang horizon saja dia harus mendongak.

Namun di sini lah tangan takdir berbicara. Di akhir-akhir masa kuliah mereka, rasa itu terledakkan. Tak terelakkan bagi mereka, tetapi tetap tak akan pernah disuarakan pada dunia.

Tya dan Andra sepakat mengunci cerita ini hanya untuk mereka berdua saja. Tak perlu sehelai daun pun di luar sana tahu. Bahkan telinga mereka sendiri pun tak diizinkan menguping tiap degup yang ditukar kala mereka bercuri pandang. Tidak boleh ada yang tahu. Ini murni hanya untuk dinikmati oleh seorang Andra dan seorang Tya. Tidak kurang, tidak lebih.

Mereka menutup ini dengan rapat. Begitu rapi seperti kemeja yang baru terkena sengat setrika. Hubungan yang tak tersentuh. Bahkan drama ini terus berlanjut selepas keduanya menyandang toga.

Semua terasa mudah setelah lepas dari komunitas lama. Sampai suatu hari, 3 tahun lalu Andra memutuskan untuk mengakhiri segala yang pernah ia bagi bersama Tya. Menyudahi setiap detik penuh intrik yang pernah dilewatinya dengan susah payah agar gengsi Tya tetap terjaga, bertengger di atas sana, kokoh angkuh tidak tergoyah.

Sudah cukup baginya menjadi alas kaki Tya. Tya yang mengaku cinta mati padanya jika semua pintu telah terkunci rapat dan semua jendela telah tertutup tirai. Tya yang memberikan seluruh kehangatan yang dimilikinya hanya jika telah yakin bahwa tak ada seekor burung pun mengintai mereka berdua dalam radius 1 meter.

“Kita sudah selesai.”
Itu kalimat terakhir Andra dalam perdebatan sengit antara Andra dan Tya, malam itu 3 tahun yang lalu, sebelum akhirnya Andra membalikkan badan tanpa menoleh lagi sekali pun.

Kala itu Tya terpuruk. Padahal dia sudah berani melempar harga dirinya jauh jauh di kaki Andra, berusaha menahannya agar tidak berbalik pergi. Tya bersedia mengumumkan pada dunia tentang mereka. Jika perlu Tya bisa membawa Andra pergi sejauh-jauhnya, ke luar negeri, untuk memulai hidup yang baru tanpa siapa pun tahu siapa mereka sebelumnya.
Uang hanya perkara tahi lalat untuk Tya.
Tapi keputusan Andra sudah bulat : mereka harus berpisah. Titik.

Sejak itu Andra benar-benar hilang tertiup angin. Tahun pertama tanpa Andra, bagi Tya adalah neraka. Pencariannya berujung nihil. Andra menjelma seperti makhluk purba : nomaden. Hingga jejaknya menjadi barang langka.

Tahun kedua Tya putus asa dan mencoba mengubur Andra dari setiap sel otaknya. Tya mendetox semua racun sumbangan dari Andra yang terlanjur mengaliri nadinya.
Tya membuka lembaran baru dengan yang lain, meskipun separuh jiwanya mengakui detak itu masih milik Andra.

Di tahun ketiga ini, ternyata Tya mendapatkan pencerahan tentang keberadaan Andra. Sayang, ini bukan seperti harapannya. Yang menemuinya adalah segulung unduangan pernikahan dari Andra. Gulungan yang kini ada dalam genggaman kerasnya. Kali ini dirobenya kertas itu, dibuangnya ke tempat sampah.

Ting tong ting

Bel apartemen Tya berbunyi. Tya buru-buru menyusut air matanya. Berlari ke wastafel, membasuh wajah, dan mematut diri di kaca.

Ting tong ting
“Iya bentar!” Tya segera membukakan pintu. Seorang wanita telah berdiri mengunggu di sana.
Tersenyum sempurna, Tya meminta maaf, “Maaf ya lama!”
“Lagi ngapain sih kamu?” wanita itu protes sambil melangkah masuk. Dia llangsung duduk di sofa empuk nan nyaman di ruang tengah.
“Mau minum apa?”
“Jus apel boleh deh”

Tya mengambilkan jus apel botolan dari kulkas, menuangkannya ke dalam dua gelas. Lalu dia duduk di samping wanita tadi, menyuguhkan minuman itu.
“Thank you!” wanita itu tersenyum manis, meneguk minuman di tangannya dengan bernafsu.
“Wow, haus apa doyan?”
“Dua-duanya!” wanita itu menepuk halus lengan Tya. Lalu seperti teringat sesuatu yang penting, dia beringsut mengambil tasnya meja.

“Eh, liat deh! Aku bawa contoh undangan.”
Wanita itu mengeluarkan sebua undangan kotak tebal dengan bentuk ukiran di sana-sini. Dengan semangatnya dia berceloteh, “Nih, bagus gak, Mas? Kita pesennya kombinasi ungu sama off-white gitu ya! Terus, ini tulisan nama aku sana kamunya mesti warna emas plus glitter. Kan bagus tuh :
Prasetya dan Vania.”

Mata Prasetya melah tersangkut di tempat sampah tempat ia membuang undangan Andra.
“Terus yaaa…ini undangannya bisa dijadiin frame foto loh! Jadi berguna kaaann?”
“…” Prasetya mematung.
“Mas Pras denger aku nggak sih?” Vania mengalihkan wajah Prasetya dari lamunannya.
Gelagapan, Prasetya menjawab, “Iya,,iya, aku denger.”
“Apa coba?”
“Itu kan…undangan.”
“Iyaaaa…Bagus nggak nih?” Vania kembali mengamati, atau lebih tepatnya mengagumi contoh undangan di tangannya.
“Bagus. Bagus.” jawab Prasetnya datar.

Matanya menoleh lagi ke tempat sampah.

Ω Ω Ω Ω

0 komentar: