“Jadi yang mana, Mbak?”
Pelayan toko eskrim yang berdiri di belakang etalase refrigerator kaca itu berkacak pinggang, menatapku dengan alis yang sebelah mengangkat. Dasar pelayan tak sopan! Berani-beraninya bersikap begitu di depan pelanggan.
“Bentar. Bentar.”
Mulutnya berdecak mendengar jawabanku barusan.
“Mbak, saya udah nanya sekitar enam kali. Mbak mau eskrim yang mana. Rasa apa, berapa scope, atau paket yang mana.” Nada bicaranya sudah mulai naik satu tingkat lebih tinggi dari terakhir kali dia bertanya.
“Terus? Ada aturannya mesti enam kali ditanya dan saya harus bilang saya mau milih apa?”
Sepertinya pelayan yang satu itu kehilangan kesabarannya. Dia meninggalkan tempat itu sementara rekan kerjanya langsung mengambil alih tugasnya, memasang senyum yang dipaksakan. Kali ini seorang wanita.
“Silakan, Mbak. Dipilih.”
“Ng…yang mana ya? Ng…” Lagi-lagi aku bingung melihat jajaran kotak-kotak berisi eskrim aneka rasa di depanku.
Di gerai eskrim dalam salah satu mall terkemuka ini, kebetulan sejak tadi hanya ada aku yang setia mematung sampai kini, sementara sisanya duduk manis di kursi-kursi bermeja bundar.
“Mbak, saya mau pesan!” Tiba-tiba di sampingku berdiri seorang lelaki kurus berbaju polo putih. Sepertinya dia seumuran denganku, di kisaran dua puluh awal. Ah, tapi mungkin dia baru belasan akhir. Atau jangan-jangan masih brondong? Saat ini banyak wajah-wajah yang menipu memang, tak sesuai umur. Ah tidak penting! Toh aku tak tahu siapa dia. Tentu saja kami tidak saling mengenal, karena barusan itu ia bicara dengan pelayan toko eskrim, bukan denganku.
Wanita pelayan toko es krim yang bernama Arini—tercantum di bet nama di seragam kerjanya—mengangguk sopan ke arahku, “Mbak silakan lanjutkan memilih, saya melayani mas ini dulu ya!”
“Oke.” Jawabku singkat.
Lalu mereka bertransaksi. Aku tak memperhatikan apa yang dipesan mas-polo-putih itu. Arini masuk ke balik pintu di belakangnya, bagian dapur toko. Sepertinya lelaki di sampingku ini memesan cukup banyak karena tak lama kemudian Arini kembali dengan membawa beberapa kotak yang siap diisi eskrim-eskrim.
“Bingung ya, mbak?” suara laki-laki itu terdengar.
Aku menoleh, takut-takut pertanyaan itu bukan buatku. Ternyata dia benar-benar bertanya padaku, bukan pada Arini si pelayan toko.
“Eh. Iya.”
“Kenapa nggak verry berry strawberry?” ia menunjuk gundukan eskrim pink
“Terlalu manis.”
“Kenapa nggak Chocolate?”
“Terlalu pait.”
“Kenapa nggak oreo cookies and cream?” ia menunjuk lagi gundukan eskrim putih bertabur biscuit coklat diantaranya.
“Rasanya nggak karu-karuan.”
“Maunya yang gimana?”
Sempat aku berpikir sejenak, sampai akhirnya menjawab, “Nggak tau.”
“Hah? Serius nggak tau yang kamu mau?”
Aku mengangguk.
“Gak suka terlalu manis, nggak suka terlalu pait, nggak suka yang aneh-aneh, dan nggak tau pengennya yang gimana.”
“Kalo dicampur semua?”
“Kamu pikir saya mixer?! Campur-campur. Rasanya pasti nggak enak!”
“Loh, belum dicoba udah underestimate.” Dia lalu beralih menunjuk ke arah refrigerator kaca. “Mbak, tolong buat campur ini-ini-sama ini.” Setelah itu menunjukku, “Buat mbak ini.”
“eh sembarangan. Enggak mbak! Saya nggak mau dicampur-campur begitu.”
“Saya yang bayar.” Mas-polo-putih itu menambahkan.
“Kamu pikir saya nggak mampu bayar?! Pokonya saya nggak mau!”
Pelayan toko bernama Arini itu menoleh sekali ke arahku lalu ke lelaki itu. Kepalanya menggeleng mengikuti arah pembicaraan, seperti orang sedang menonton bulu tangkis.
“Jadi gimana ini? Pesenan mas sudah saya bungkus, ini kembaliannya. Mbak jadinya pesen apa?” Arini akhirnya bicara. Ia menyodorkan pesanan mas-polo-shirt dan uang kembalian,
“Pilihan memang diciptakan untuk dipilih. Dan semua ada enak dan enggaknya. Tergantung selera. Nggak ada yang punya takaran yang sama dalam hal itu, begitu juga standarnya, pasti beda. Pait, manis, nggak karu-karuan, atau apapun kalau sudah dipilih ya dinikmati saja, toh?” Lelaki itu bicara panjang lebar sambil mengambil bungkusan dan memasukkan uang sisa ke dalam saku jeans-nya.
“…”
“Kamu pilih mint chocolate chips aja. Kepala kamu kebanyakan mikir. Butuh yang dingin-dingin. Trust me.”
Sok tau!
Ia lalu melengos, tapi sebelum pintu toko dibuka, ia sempat menoleh dan aku tertangkap sedang terus memandanginya dengan tatap sebal.
“In case kamu mau tau nama saya…” dia mendekat, menjulurkan tangannya.
Mau tak mau aku menjabat tangan itu, hanya demi alas an kesopanan.
“Mata Angin.”
“Apa?”
“Nama saya Mata Angin.”
Pantesan aneh, namanya aja aneh!
“Aneh ya?”
“Enggak sih biasa aja.”
“Bohong. Mata kamu nggak mesti melotot kalo nggak nganggep nama saya aneh. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Anehan kamu sih…milih es krim aja lama, gimana milih jalan hidup?”
Lalu lelaki yang mengaku bernama Mata Angin itu berbalik, membuka pintu toko lalu keluar. Benar-benar meninggalkan toko itu tanpa sekali pun menoleh lagi.
Siapa sih? Tiba-tiba muncul. Pake ceramah! Namanya aneh lagi! Sok kenal.heuh..
“Jadi pesen apa, mbak?” suara Arini memecah kekesalanku pada Si Mata Angin.
Kamu kebanyakan mikir. Terngiang lagi kata-kata Mata Angin. Aku merasa tertampar.
“Mbak?”
“Oke. Oke. Mint chocolate, satu.”
Entah perasaanku saja atau bukan, tapi sempat kulihat Arini menghela nafas. Mungkin dia lega akhirnya akan lepas dari customer labil sepertiku.
Terserah lah. Yang jelas hari ini aku sukses dibuat penasaran oleh sosok bernama Mata Angin.
Mata Angin, dari arah mana kamu datang? Ke arah mana kamu pergi?
Bahkan kompas pun tak bisa menjawab.
Belanja Hemat dengan Harga Teman
5 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar