About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Minggu, 01 Februari 2009

merah-biru


Sore itu aku sedang duduk di sofa, di pojokan ruangan bernuansa minimalis berjudul kedai kopi di tengah kota. Di sini aku membuat janji bertemu dengan seseorang.
Jam di tanganku menunjuk waktu pukul 3 sore. Terlalu cepat setengah jam memang dari waktu janjian kami : setengah empat. Tak apalah di tempat ngopi seperti ini setengah jam tak akan terasa lama.

Sambil menunggu, aku memesan roti bakar coklat kacang dan cappuccino punch. Beruntung aku sedang bawa laptop, jadi kumanfaatkan saja wi-fi gratis di sini dengan tujuan mengusir bosan. Ternyata tujuan itu tak tercapai. Bari 5 menit aku mengotak-atik jaringan internet, aku sudah bosan. Bahkan salah satu site social networking online pun sudah terasa membosankan buatku. Tidak terlalu menarik lagi melihat orang-orang berganti status tiap menitnya.

Kusingkirkan laptop itu dari hadapanku, tapi kubiarkan ia tetap menyala dengan messenger yang juga online. Aku pasang ikon busy di status messengerku. Biarlah, daripada wi-fi nya nganggur kan mubazir. Lalu, kukeluarkan sebuah sketchbook dari tasku; Sebuah buku kecil berisi coretan gambar tanganku. Jujur, aku tak bisa menggambar, pun merasa tak berbakat menjadi artist, tapi bukan dosa kan seorang yang tak bisa dan tak berbakat menggambar menyukai aktivitas menggambar?! Jadi, inilah aku, di pojokan kedai kopi bertema café futuristik, dengan laptop yang menyala, dan tangan yang sibuk dengan pensil dan sketchbook. Kali ini, aku menggambar jembatan. Entah kenapa, tapi satu-satunya yang muncul di imajiku saat pensil ini bertengger di jari-jari tangan kananku adalah jembatan tua berbentuk hampir setengah lingkaran yang bolong di sana-sini. Warnanya merah dan biru.

Merah dan biru?

Sedikit tersentak, tiba-tiba kuingat sesuatu tentang merah dan biru. Sebuah memori yang pernah jadi serangkaian hari mendayu-dayu di masa lalu. Percaya atau tidak, masa lalu itu masih aku bawa sampai kini. Masa lalu itu ada di dalam organizer buluk, dalam tas yang ada di pangkuanku. Perhatianku yang awalnya pada laptop, lalu bergulir ke pensil dan sketchbook, sekarang beralih ke organizer buluk di tanganku. Perlahan kubuka organizer itu, kuselipkan jari-jariku di lipatan kulit organizer halaman paling belakang. Jari-jariku menggapai-gapai, mencari si merah dan biru. Di ruang yang sempit itu jari-jari ini merasakan merah-biru masih di sana. Ditariknya perlahan, sampai ia keluar, seperti bayi baru lahir. Sampai akhirnya tergeletaklah si merah-biru tepat di depan mataku. Sehelai foto berwarna, sebagian merah, sebagian biru. Foto aku dan kamu, dulu. Sebuah foto biasa, hasil editan kamu, sisi aku berwarna merah, sisi kamu berwarna biru. Padahal di foto itu kita bersebelahan, dalam satu tempat, begitu rapat, tapi terpisah oleh warna. Aku merah, kamu biru. Sesuai warna kesukaan kita masing-masing.

Tak sadar, sebelah bibirku naik, mengukir senyum kecil. Aku teringat waktu dulu kamu dengan bangganya memberikan foto ini padaku. Kamu begitu bersemangat dan menggebu-gebu. Bahkan aku ingat, kamu sempat bilang,
“Lihat! Bagus ya? Kamu kan suka merah, aku suka biru. Nih digabungin juga lucu, tetep nyambung. Padahal merah sama biru beda banget kan?”
Waktu itu aku bilang iya-iya saja. Waktu itu aku terlalu bisu untuk bilang jujur bahwa foto itu tak sebagus apa yang diekspresikannya. Waktu itu yang terpenting buatku adalah bahwa kamu sangat memperhatikan kesukaanku, sampai ke warna favoritku. Kamu dan aku sama-sama tak sadar bahwa diantara biru dan merah ada perpaduan keduanya yang berwarna ungu, terbentang antara kamu dan aku, antara merah dan biru. Walau tipis dan tak kentara, ungu itu tetap ada dan menjadi pembatas, antara merahku dan birumu di foto itu. Sangat analogis dengan cerita perpisahan kita, sangat representatif.

Mataku tiba-tiba beralih lagi ke laptop, seperti mulanya saat aku sampai di café ini. Sehelai merah-biru masih tergeletak jelas di meja itu. Sekarang tangan kananku dengan lincah berlarian di touchpad , membuka folder demi folder dalam harddisk laptop, sampai pada satu folder yang entah kenapa masih membuatku tegang saat membaca namanya : MERAH-BIRU.

Akhirnya setelah menarik oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paru, kubuka folder itu. Folder berisi memori Si Merah dan Si Biru. Ada foto, ada tulisanku, tulisanmu, dan dokumentasi yang kalau dipikir-pikir sungguh tidak penting.
Dasar kurang kerjaan! Gerutuku dalam hati, yang berarti mengutuki diriku sendiri karena folder itu Aku dan Kamu yang menciptakan, dan bahkan masih kusimpan sampai kini.
Dulu kamu pernah bilang, walaupun merah dan biru terkesan berseberangan, itu justru bisa saling melengkapi. Merah yang mirip dengan api, biru yang mirip dengan air, bisa menjadi penyeimbang. Air bisa memadamkan api yang berkobar, dan api juga bisa menghangatkan air yang dingin.

Itu analogi kita.
Dulu.

Lagi-lagi tak sadar, aku tersenyum melihat foto-foto kita, membaca tulisanku dan tulisanmu. Ekspresi orang yang sedang madly in love. Saat kita belum sadar bahwa air dan api bukan hanya berseberangan, tapi juga berpotensi saling mematikan.

Tiba-tiba messenger-ku berkedip dan bersuara. Ada yang mengajak ngobrol rupanya. Si folder merah-biru kuminimize. Dan entah ini pertanda surga atau neraka, ternyata Kamu, Si Biru dari masa lalu lah yang mengajakku ngobrol lewat messenger itu. Di sana kamu cuma menuliskan tiga huruf :
feromon_yetganteng : Hai
Buru-buru kusingkirkan pikiran tentang ‘pertanda’ atau apalah itu.
Tenang, Saski…ini cuma kebetulan.
Kubalas sapaanmu itu tak kalah santai,
saskiashafrina : Hai juga
Dan obrolan kita berlanjut ke: apa kabar-lagi di mana-kerja di mana-bla bla bla. Lima tahun tak berkomunikasi membuat Aku dan Kamu agak canggung. Berusaha mencairkan kebekuan aneh ini, kita sempat membahas nickname messengger-mu yang tak cocok untuk lelaki seumurmu. Sampai akhirnya kamu bertanya alamatku sekarang di mana.
saskiashafrina : Masih di Bandung. masih yg dulu,heuheu..lupa alamatnya?
feromon_yetganteng : Nggak. Siapa tau udah pindah. Mmm…diboyong suami
gitu mungkin…
Sejenak aku terhenti, tapi cepat-cepat kujawab
saskiashafrina : Aku belum nikah, Fer.
feromon_yetganteng : Oh…Mmm…sebenernya aku tanya alamat kamu mau
ngirim undangan.

Lama aku diam. Sampai kamu tulis lagi,
feromon_yetganteng : Aku nikah bulan depan, Sas..
Buru-buru kukuasai diriku lagi. Untung ini di messenger, bukan telepon. Lebih mudah bagiku untuk pura-pura berekspresi.
saskiashafrina : Waah..slamet yaaa!! Sip sip aku pasti dateng :)

Dan setelah kamu selesai dengan tujuanmu ber-messenger denganku, kamu pamit. Sign-out. Tak sampai 3 detik kamu sign-out, aku pun melakukan hal yang sama.
Folder Merah-Biru di toolbar desktop aku restore lagi. Aku suntik kesadaranku dengan mereguk cappuccino punch banyak-banyak. Berharap sedikit kafein bisa menggedor-gedor kesadaranku kembali.
Tangan kananku mengklik kanan folder itu. Kursornya sudah menyorot ke arah ‘delete’. Akhirnya, sejurus kemudian kolom delete itu aku klik. Muncul pop-up bar :

Are you sure you want to delete this folder?

Ada dua pilihan : ‘Yes’ dan ‘No’.
Yang satu akan menghapus Si merah-biru dari laptop ini, yang satu akan membiarkannya tinggal bersemayam di sudut kecl terpencil di laptop ini.
Bimbang.
Sampai sepasang tangan mendekap mataku sesaat, lalu melepasnya lagi.
“Dor!! Serius amat?”
Gelagapan, aku memilih ‘No’ untuk pop-up bar tadi.
“Gak kok…gak pa-pa.” Aku senyum selebar-lebarnya.
“Lama nunggunya?”
“Nggak juga.”
“Bagi dong! Haussss…” si pemilik tangan yang tadi mendekap mataku dari belakang itu menyedot cappuccinoku sampai hampir bersisa hanya seperempatnya.

Kupandangi pria di sampingku ini lekat-lekat. Dia memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman.
“Kamu mau tambah lagi nggak?” tanyanya padaku saat pelayan sedang mencatat pesanannya.
“Nggak.” Jawabku tanpa mengalihkan titik pandang dari wajahnya.
Setelah pelayan itu pergi, dia balik memandangku tepat ke arah mata.
“Kenapa sih ngeliatin terus? Ganteng ya?”
“PEDEEEE BANGET SIH, KAAANGGGGG!!!!”
Lalu kami tertawa. Puas. Mataku tak lepas dari titik tadi.

Dia memang tidak seperti kamu, Fer. Dia tidak setipe denganmu. Berbeda di banyak aspek dan kualifikasi. Dan dia tidak suka biru.

Dia yang aku panggil kakang ini yang kupilih untuk mewarnai sisa hidupku kelak. Kusebut kelak, karena belum terjadi. Baru minggu depan dia akan melamarku secara resmi, pada ayah dan ibuku, ke keluarga besarku.

Karena Kakang, aku sadar, di dunia ini warna tidaklah hanya merah dan biru. Rasa tidaklah hanya manis dan pahit. Semesta bukan hanya langit dan bumi. Dia membuka cakrawalaku lebih luas, membiarkan aku terbang melihat segalanya dari atas tanpa harus selalu dia di sampingku, lebih bebas, tapi mengikatku dengan simpul yang tak kasat mata : CINTA.

Bulan depan, aku akan datang ke pernikahanmu dengan Kakang. Supaya Aku dan Kamu sama-sama sadar, bahwa kamu telah menemukan seseorang yang akan hidup dengan ke-biru-an-mu dan aku telah menemukan seseorang yang akan hidup dengan ke-merah-an-ku.

Tenang saja, memori itu masih di situ. Tak pernah kemana-mana. Karena pelangiku tak akan pernah lengkap tanpa ada birumu.



=for everybody who’s trying to move on=

0 komentar: