About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain

jejak tapak yang tampak

Kamis, 23 Agustus 2012

bandara


Jam yang melingkar di pergelangan tangan menunjuk angka 7.05. Sudah pagi seharusnya, tapi langit masih buram, cahaya belum sampai. Angkasa masih pekat, terpantau dari langit-langit yang sebagian berlapis kaca transparan. Saya, mengucek mata sambil memutar sedikit leher, lalu sedikit memutar pinggang ke kanan-kiri. Pegal.

Baru setelah itu teringat, jam tangan dan langit di bumi yang sedang dipijak sedang dalam harmoni yang tak sama. Jam di tangan lebih cepat 3 jam daripada waktu kerja matahari di sini.
Di kanan saya, dua orang teman seperjuangan masih tidur setengah pulas. Saya bilang setengah karena saya yakin setengah nyawanya masih tidak bisa tidur tenang. Perjalanan kami masih setengah lagi pula, membulatkan kesetengah-setengahan istirahat diantara membunuh waktu menunggu pagi.

Mata saya berpatroli. Di depan, sebuah taman buatan sengaja dibuat dengan berbagai tanaman artificial. Indah, tapi tetap saja palsu. Tentu saja tidak mungkin berharap mendapatkan pemandangan hutan asli Kalimantan di sini. Itu di luar ekspektasi. Lagipula tidak lucu kalau ada bekantan berlari-lari di tengah bandara yang penuh dengan manusia.

Orang-orang berlalu-lalang. Sebagian berwajah kaukasia, sebagian negroid, beberapa Mongolia, Amerika, sebagian lagi Melayu dan sisa ras-ras lainnya. Masing-masing berjalan dengan barang bawaannya, menuju arah-arah yang juga tak sama. Utara-selatan-timur-barat, segala penjuru. Sementara itu saya duduk mengamati, lalu berpikir, betapa sebenarnya apa yang saya lihat di bandara kali ini adalah potret kecil rangkuman kehidupan.

Bagaimanapun hidup adalah pilihan. Hijrah, adalah sebuah pilihan diantara ribuan alasan untuk tetap berdiam di tempat. Dalam proses kepindahan, ada yang harus dikemasi, ada yang harus direlakan untuk tidak dibawa pergi. Seperti halnya barang bawaan, dalam perjalanan kali ini misalnya, saya hanya diizinkan membawa 30 kg di dalam bagasi plus 7 kg untuk yang bisa saya ajak masuk ke cabin. Bukankah Ini seperti juga tak ubahnya manusia saat harus mengambil keputusan untuk berubah? Saat sebuah keputusan untuk berganti sesuatu atau berpindah haluan, tidak semua hal bisa dikemasi, dibawa ikut pergi, bahkan sebagian lebih baik dikremasi karena hanya akan memberatkan hati. Lagi-lagi, berkemas adalah proses pendewasaan, dimana memilah adalah skill yang dilatih di dalamnya.
Lalu saya terpikir kembali, bahwa kali ini, bandara hanya berjabatan sebagai penyedia naungan sementara. Ada perjalanan lain yang harus dijalani, maka kita sebut saja ini perhentian. Perhentian, yang di dalamnya kita bisa bertemu banyak orang, berbincang dengan orang yang sama sekali asing, berkenalan, jatuh cinta, atau patah hati di saat yang sama, atau rasa-rasa lain yang tidak akan cukup dideskripsikan dalam 1001 malam juga.
Namun lalu kita akan lupa semuanya ketika perjalanan harus kembali dilanjutkan, sesuai tujuan. Mungkin sepetak (atau malah selapangan) memori yang sudah terlanjur diciptakan, tapi masih dapat dipilah untuk dipatrikan atau ditiup sampai hilang saja seperti buih di lautan. Jika beruntung, kita akan bertemu dengan orang-orang (atau orang, singular) yang satu tujuan, satu pandangan, meskipun mungkin tidak segalanya akan bisa di-satu-kan. Well, mirip sekali dengan kehidupan.

Bandara juga mengingatkan saya, bahwa dasarnya orang-orang bisa datang, tapi orang-orang juga sangat mungkin pergi. Sebagian meninggalkan, sebagian harus rela ditinggalkan. Ada harga untuk setiap pilihan yang diambil, tergantung bagian mana yang bisa mendapat kompromi, mana yang tidak sama sekali.
Tiba-tiba saya teringat dengan berbagai orang yang berlalu-lalang di kehidupan saya sendiri. Belum genap 24 jam saya berpisah dengan mereka di Jakarta. Belum waktunya saya merasa rindu, tapi kenyataannya memang begitu.

Hey, kalian..terima kasih untuk membuat perjalanan kali ini terasa melegakan. Tenang saja, ini hanya perhentian sementara. Sebagian dari kalian adalah hal yang tidak bisa saya biarkan tidak saya kemasi kemana saja saya pergi, tentu tidak secara badani, tapi saya bawa dalam hati. Sehat-sehat ya… Sampai ketemu di perhentian lain lagi.
Mohon maaf untuk setiap kerepotan yang harus dijalani sebelum ini. Mohon keikhlasan untuk merelakan apa-apa yang sudah membuat kalian terbebani oleh kegalauan atau kesulitmengertian saya atas berbagai kondisi sebelum saya pergi. Seberapapun kita terpisah, kalian akan tetap saya simpan di sini. Di sini. Di sini. *kalian pasti tau di mana yang dimaksud*

Mari saling mendoakan, agar setiap perjalanan dan perhentian bisa membuat kita menjadi lebih baik. Baik demi hari ini, baik untuk esok hari. Baik untuk saya, baik untuk kamu, baik untuk kita. Karena menunggu tidak selamanya buruk, bukan?

See you later, Bandung- Jakarta
Nice to meet you, Dubai
See you soon, Amsterdam- Leeuwarden

-untuk kalian, yang hanya saya yang tau siapa saja yg dimaksud-


#buah dr matigaya transit 9 jam 40 menit. zzz

1 komentar:

Lio Ways Alqurni mengatakan...

tulisannya bagus.....
bikin novel aja