Iya kamu. Tak perlu pakai celingukan ke belakang. Memang kamu maksudku. Diam saja di situ. Kau akan kuberi tahu sesuatu. Dengarkan jika masih mau, jika tidak pun tak apa sebenarnya, toh akan kutulis semuanya, meski tidak sekaligus. Dengan bantuan pak pos cinta, surat ini pada akhirnya akan tiba pada kamu, yang kutitipkan sesuatu beberapa waktu lalu, meski kini sudah tidak berlaku : hatiku.
Jikapun tidak mau kau baca, biar saja. Lagipula aku kini mulai sedikit terbiasa tanpamu. Hahaa..bohong besar, yang barusan itu. Seperti lagu Syahrini yang super cheesy hasil recycle lagu di masa lalu : "aku tak biasa"
Kalau boleh jujur, aku tak ingin terbiasa, meski harus.
Kamu tahu tidak, akhir-akhir ini alam sering mendukungku untuk diam dan merenung. Seperti filsuf karbitan saja. Langit lebih suka menemaniku dengan mendung, angin lebih senang membelai kulitku pelan seolah mengelus-elus kasihan, meski sesekali ia menamparku keras. Keras sekali, seperti kerasnya tamparan kenyataan saat kita harus menyudahi semua ini pada akhirnya.
Dan sekarang, aku di salah satu sudut kota, mencoba merangkai sesuatu yang katanya dijuduli surat cinta? Surat (sudah tak) cinta lebih tepat, kurasa.
Bah! picisan sekali kedengarannya. Sedangkal pikiranku yang masih membenci beberapa tempat dan sepanjang jalanan yang pernah kita coreti dengan kenangan yang entah kapan bisa hilang. Sebodoh hatiku yang terkadang masih bertanya : “Kenapa begini akhirnya?” lalu berujung pada rasa sesal yang belum sembuh juga. Iya, belum. Bukan tidak.
Entah, sudah berapa gulung tissue yang terbuang sia-sia dan menyebabkan pohon-pohon di luar sana ditebang lebih brutalnya. Jika karena itu pemanasan global semakin parah, berarti salah satu penyebabnya jelas gara-gara kamu! Oh, lihat, bahkan aku meracau begitu jauh ketika menyalahkanmu. Menghadirkan kamu dalam daftar pelaku dalam hidupku adalah satu dari sekian kesalahan yang aku buat, dan belum bisa kuperbaiki. Lihat saja ke arah hati ini. Sobek di segala sisi.
Begitulah.
Maka jika tujuanmu mengakhiri ini untuk menyakiti, selamat ribuan kali, kamu menjalankan misi dengan sempurna. Bahkan sialnya, wangi tubuhmu masih saja terekam di kepala.
Kau tahu, akan ada beberapa ‘surat (sudah tak) cinta’ berikutnya. Sampai aku bisa melepasmu. Sampai aku bisa benar-benar mengenyahkanmu dari ujung arteri hingga vena. Entah kapan.
Kamu tahu tidak, akhir-akhir ini alam sering mendukungku untuk diam dan merenung. Seperti filsuf karbitan saja. Langit lebih suka menemaniku dengan mendung, angin lebih senang membelai kulitku pelan seolah mengelus-elus kasihan, meski sesekali ia menamparku keras. Keras sekali, seperti kerasnya tamparan kenyataan saat kita harus menyudahi semua ini pada akhirnya.
Dan sekarang, aku di salah satu sudut kota, mencoba merangkai sesuatu yang katanya dijuduli surat cinta? Surat (sudah tak) cinta lebih tepat, kurasa.
Bah! picisan sekali kedengarannya. Sedangkal pikiranku yang masih membenci beberapa tempat dan sepanjang jalanan yang pernah kita coreti dengan kenangan yang entah kapan bisa hilang. Sebodoh hatiku yang terkadang masih bertanya : “Kenapa begini akhirnya?” lalu berujung pada rasa sesal yang belum sembuh juga. Iya, belum. Bukan tidak.
Entah, sudah berapa gulung tissue yang terbuang sia-sia dan menyebabkan pohon-pohon di luar sana ditebang lebih brutalnya. Jika karena itu pemanasan global semakin parah, berarti salah satu penyebabnya jelas gara-gara kamu! Oh, lihat, bahkan aku meracau begitu jauh ketika menyalahkanmu. Menghadirkan kamu dalam daftar pelaku dalam hidupku adalah satu dari sekian kesalahan yang aku buat, dan belum bisa kuperbaiki. Lihat saja ke arah hati ini. Sobek di segala sisi.
Begitulah.
Maka jika tujuanmu mengakhiri ini untuk menyakiti, selamat ribuan kali, kamu menjalankan misi dengan sempurna. Bahkan sialnya, wangi tubuhmu masih saja terekam di kepala.
Kau tahu, akan ada beberapa ‘surat (sudah tak) cinta’ berikutnya. Sampai aku bisa melepasmu. Sampai aku bisa benar-benar mengenyahkanmu dari ujung arteri hingga vena. Entah kapan.
0 komentar:
Posting Komentar