Aku membetulkan letak kacamata yang agak melorot, lalu menaikkan resleting jaket tebal yang kukenakan sampai ke dagu. Meskipun memakai heater, tetap saja ruangan kamar ini terasa dingin. Tidak heran, toh memang salju turun hari ini di luar sana untuk pertama kali di musim ini.
Masih dengan duduk di atas kasur dan memeluk diri sendiri, mataku menerawang ke luar, ke arah dimana bulir-bulir seperti kapas itu akhirnya berguguran. Tidak biasanya aku menyambut salju dengan lesu. Ini jelas tidak seperti tahun-tahun yang lalu. Aku tahu betul penyebabnya. Kamu.
Kuputuskan untuk melangkahkan kaki ke dapur, membuat minuman panas untuk menghangatkan perut, meski mungkin hati tetap beku. Kamar Armel--teman satu flatku--masih tertutup rapat, pertanda sang penghuni masih dibuai mimpi. Wajar saja, ini masih jam 5 pagi dan matahari belum pamer eksistensi.
Aku menguap, menggeliat, dan mengambil sebuah cangkir dari lemari. Earl grey favorit kuseduh tanpa campuran air dingin. Wangi teh bercampur citrus menyeruak seketika, lalu dengan tidak sopannya aroma itu mengorek album-album di kepala yang seharusnya tidak dibuka. Tidak sekarang, tidak saat seperti ini, saat mataku sulit diajak kompromi agar tidak ikut berhujan seperti cuaca beberapa minggu terakhir. Oh yes, lihat kan, mataku mulai berkaca, meski langsung aku seka.
Buru-buru kuambil cangkir itu dari meja dapur dan menangkupkan kedua telapak tangan ke sekelilingnya, duduk di depan TV dan mencari acara yang menarik. Menarik? Tentu tidak ada. Kepalaku terlalu penuh dengan pertanyaan 'kenapa' yang belum ada jawabnya.
Menyeruput earl grey memang seolah menantang diri sendiri, melarutkan diri dalam kenang yang sulit diajak berhenti. Terutama saat melankolis begini. Kamu tahu, banyak cerita yang kita bagi diantara bercangkir-cangkir teh beraroma citrus ini? Kamu ingat, berapa jam yang pernah kita habiskan membahas ini-itu ditemani wangi teh kesukaanku ini? Aku tak menghitung, tapi tak mungkin lupa, betapa earl grey sering jadi barang ketiga--bukan orang ketiga--diantara kita. Sesekali kita berdebat soal terlalu manisnya atau kurang gulanya, meski berakhir dengan tawa. Ah, dan ya, tak usah ditanya, aku sedang merindukan itu semua. Rindu, yang saking seringnya ditahan, kini lebih senang bermuara pada mata. Jadi, jika ada yang bertanya mengapa mataku sering seperti habis bertinju, anggap saja aku sedang mengandung rindu.
Semoga kamu belum lupa betapa aku mengagumi salju. Saat mereka akhirnya tiba di bumi yang kita pijak, aku akan berlonjak girang dan memelukmu kencang, "Saljuuuuu...wooohooo!"
Tapi kini aku hampir lupa rasa hangat peluk itu. Terbalik dengan rasa dingin salju yang justru sering aku rasakan meski dalam rendaman air beruap di bathtube. Dingin yang menggiit, seperti menancap-tercabut-menancap-tercabut berulang kali di dada sebelah kiri tempat pusat denyut bersembunyi.
Kira-kira begitu pula saat mataku tersangkut pada cangkir di pelukan telapak ini, yang kita beli Natal lalu. Meskipun kita tidak merayakannya, bukan bagian dari umatnya, tapi kita selalu suka warna-warni suasananya, bintang-bintang, bola-bola dan hiasan di sepanjang kota, seolah tidak ada tempat untuk kesuraman dan putus asa.
Sayangnya, masa sudah berbeda. "Dunia berputar, roda bergulir" begitu kata salah satu buku filsafat yang pernah kubaca. Rupanya kali ini dunia sedang berputar pada arah yang tak kusuka, belum bisa kuterima.
Bahwa pertemuan dan perpisahan diciptakan seperti dua sisi koin yang sama, aku sudah tahu, tapi aku juga percaya pada pengecualian-pengecualian. Kamu, salah satu yang kupikir akan masuk dalam hal-hal terkecuali itu, yang ternyata tidak. Kita tiba pada ujung bernama akhir, meski rasanya belum ingin.
Kuselipkan earphone pada kedua telinga. "Sky!Sky!Sky!" Depapepe yang biasanya bisa menjadi pemercik aura bahagia nyatanya belum bisa mengajak bibirku tertarik naik. Ia masih melengkung, ke bawah. Serba salah.
Lalu telepon genggam di sampingku bergetar. Sebuah pesan masuk di sana. Nama yang susah payah aku usahakan hapus tapi tak bisa, muncul di layar.
xxxxxxxxxxxxxxxx : Lagi apa, hey? Bangun deh, udah salju di luar :)
Hal-hal semacam ini yang membuatku sulit beranjak pergi. Bagaimana bisa, jika segala di sekelilingku masih semua tentangmu, dan bahkan kamu masih begitu.
Aku memilih meninggalkan earl grey, mematikan TV, mengencani kasur dan selimut tanpa membalas apapun. Pernah dengar wanita sering makan gengsi? Anggap saja sekarang aku sedang membiasakan diri dengan makanan itu. Makan gengsi. Semoga kenyang.
Jaket terpasang, kaus kaki dipakai, mata terkatup, selimut menutup. Aku siap berhibernasi. Rasanya tak ingin bertemu salju kali ini, berharap saat bangun sudah disirami matahari.
Bukankah ada pengecualian untuk segala sesuatu? Aku memang pernah begitu mencintai salju, kecuali setelah sadar bahwa mereka menyulap segala yang berwarna-warni menjadi kelabu. Seperti kita. Seperti kamu.
-fin-