Sebagian orang menyukai hujan. Katanya hujan itu romantis, membuat rileks, menyejukkan, menenangkan atau apalah itu segudang alasan lain yang mengarah pada hal-hal manis-manis gulali. Hujan itu jodohnya coklat panas, sweater, musicplayer, buku, kaca yang berembun, dan pikiran yang melanglangbuana, penuh inspirasi dan romansa.
Ck! sok filosofis!
Aku tak suka hujan. Hujan itu merepotkan, membatasi ruang dan menurunkan akselerasi pergerakan. Lihat saja, setiap hujan jalanan menjadi becek, orang-orang malas keluar, yang tak berpayung lebih memilih diam menunggu, motor-motor menepi, mobil-mobil menurunkan kecepatan, pengemudi terpaksa harus menyetir dengan konsentrasi tinggi. Menyusahkan saja.
Seperti sekarang, hujan di luar sana.
Benang-benang air mengucur deras seperti memang awan-awan menangisi sesuatu. Tidak bersama petir memang, makanya Aku bisa santai-santai saja duduk di dekat kaca kamar, memandang ke luar, walaupun sebenarnya tak ada yang bisa dipandangi selain jalanan komplek yang basah dan daun-daun dari pohon milik tetangga yang bergoyang dipermainkan angin.
Pelan-pelan Aku meniup permukaan susu coklat panas yang mengepul dari cangkir hitam di tanganku. Gumpalan asap itu membuyar berpisah saat angin yang kutiupkan menyentuh mereka. Tepat saat tenggorokanku sedang dimanjakan hangatnya susu coklat, sebuah pesan masuk terdengar dari handphone. Segera kubuka dan kubaca isinya,
From : SiBotski
Lg sbuk g Neng? Main yuk! suntuk sumpah!
Itu dari sahabatku. Sahabat yang diam-diam setelah bertahun-tahun bersamanya ternyata 'naik kelas' di hatiku. Tentu saja dia tak tahu (dan tak akan kubiarkan tahu).
Aku balas secepatnya.
To : SiBotski
Main kmn? Ujan tau! Klo km jmput krumah sih hayu, kalo g, MALLEEESSSS kluar rumah.
Balasan darinya datang tak sampai satu menit kemudian
From : SiBotski
15 mnit lg nyampe. udh d jalan da. heu :p
Buru-buru aku mencari sweater terbaikku, berharap tak terlihat terlalu jelek saat dia datang. Konyol memang Aku ini. Memangnya dia peduli Aku terlihat oke atau tidak?!
Dia datang benar-benar 15 menit kemudian, dengan payung biru yang sebenarnya punyaku. Entah sejak kapan payung itu 'diculik' dan ada di tangannya. Biarlah, setidaknya payungku itu melindunginya dari hujan.
Mukanya kusut, tak bersemangat. Ada sorot sedih di matanya. Dia melemparkan diri di atas kursi kayu di beranda sambil berkata, "Kita di sini aja ya, pengen ngobrol doang sih sebenernya. Mau main ke luar juga ngapain, pasti macet."
"Ya udah, bebas. Minum dulu." Aku sodorkan teh manis yang sudah kusiapkan untuknya. Perlahan, dia meminum teh hangat itu sambil sesekali meniup-niup. Keningnya berkerut dalam. Melihat gelagatnya, Aku yakin ada yang tidak beres. Pasti tak lama lagi dia akan memuntahkan curhatan panjang.
"Mungkin saya emang bukan yang terbaik buat Tia..."
Tuh kan, kalimat pembukanya aja udah bawa-bawa nama pacarnya.
Aku mempersiapkan mata, telinga dan terutama hati untuk mendengar celotehan panjang tentang cintanya. Memberi nasehat-nasehat dan saran pada sahabat yang sedang pusing dengan tektekbengek cinta sebenarnya tidak sulit. Yang sulit adalah jika ternyata hatimu teriris ketika mendengar dia bersedih, mengetahui kenyataan bahwa dia bukan sekedar sahabat di matamu, sekaligus menelan pil pahit bahwa di kepala sahabatmu itu hanya ada orang lain, bukan kamu.
Combo pain.Yang bisa kulakukan hanya berpura-pura seperti sahabat biasa lainnya : memberi saran yang sejuk dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa dia dan pacarnya akan bisa melewati masalah ini. Intinya seolah berkata 'badai pasti berlalu', sementara badai di hati sendiri semakin parah.
Di saat seperti ini, hujan menambah kepahitan.
Beberapa jam kemudian, dia sudah bisa sedikit tertawa riang, sementara hujan masih menjerang. Tiba saatnya berpamitan.
"Makasi banget ya, mate! Nggak tau harus ke mana kalo nggak ada kamu." dia memelukku hangat, seperti kakak memeluk adiknya.
Aku bersikeras ingin mengantarnya sampai ke tempat dia memarkir kendaraan, beberapa meter dari rumahku. Kebetulan saat ini jalanan di depan rumah sedang penuh dengan kendaraan yang parkir sembarangan. Mungkin tamu tetanggaku, entahlah, tak tahu.
Jadi begitulah, kami berpayung berdua, dan sampai di depan Si Silver.
"Cepet pulang sana. Nanti sakit. Payungnya bawa aja. Lagian punya kamu kan?"
"Terus nanti kamu nggak pake payung?"
"Ada kok di bagasi, baru dibeliin Tia minggu kemaren."
Tia lagi, tia lagi.Aku berusaha tersenyum, seperti biasa, beracting. Dia pun melambai, pergi melaju.
Tubuhku berguncang pelan. Semakin lama semakin kencang. Ada rasa sedih yang bercampur dengan marah tiba-tiba datang.
Payung biru dalam genggamanku itu kulempar ke pinggiran jalan, sementara Aku berjalan hujan-hujanan.
Sekarang Aku tahu fungsi hujan : menyembunyikan air mata yang membanjir akibat perih karena tersingkir.
Setidaknya jika ada yang bertanya 'kamu nangis ya?' bisa kujawab, 'ini air hujan, bukan dari mata.'
That should be me holding your hand
That should be me making you laugh
That should be me this is so sad
That should be me
That should be me--That Should Be Me, Justin Bieber--
photo source :
http://farm4.static.flickr.com/3174/2868415406_59f1a22e18.jpg
supdudesupguy.blogspot.com