To : t_karyani@yahoo.com
From : nee_icut@yahoo.com
Subject : Kisah Malaikat
Halo, Bu...
Apa kabar? Maksudku, apa kabar pantai, gelombang, riak, pemandangan, dan nyiur yang sering kita bicarakan? Sampaikan sedikit salam rindu pada bulir pasir yang ibu izinkan menggerayangi tempat surgaku berada, juga pada kastil-kastil mungil yang mungkin sudah dicipta seadanya, atau pada tukang sepeda tandem yang sudah ibu goseh susah payah bersama ayah. Bukankah tadi siang ibu sudah sampai di pantai?
Ini hari ketujuh semenjak terakhir kali kita bertemu. Sebelum aku melangkah ke duniaku, dan ibu pada dunia ibu.
Tahu kan, Bu...aku senang bercerita. Mungkin tidak pada semua orang aku berbagi. Tapi kali ini aku sedang mau.
Jadi begini,
Semalam aku bermimpi kita berdua berdiri dalam sebuah sebuah ruang warna warni. Sebelah kuning, sebelah hijau. Kadang berubah biru, kadang berganti oranye. Setiap kita bergerak, mereka ikut menggeliat, berganti warna dalam bentuk yang tak ada dalam riwayat. Kepalaku pusing, mataku berkunang. Berkali-kali aku menabrak dinding dan jatuh terguling. Ini terasa terlalu melelahkan dan menyesakkan.
“Aku nggak sanggup, Bu!”
Lalu sabda sederhanamu meluncur seperti es yang sudah waktunya meleleh, “Ayo, Teh. Bangun.”
Dan tanganmu terjulur.
Aku memilih diam tergugu. Melihat jalan yang berkelok memusingkan, memandang langit yang tak jelas akan berpihak pada panas atau hujan.
Dan Ibu menunggu, duduk di sampingku.
“Kamu tahu, Teh...ibu nggak pernah mendoakan kamu jadi begini-jadi begitu, supaya begini-supaya begitu.”
“Loh kok gitu?Di mana-mana orang tua tuh doain anaknya pintar-soleh-solehah-kaya-jodohnya baik-cantik-cakep-lolos tes ini-itu-masuk sana-masuk situ-bla-bla-bla.”
“Ibu hanya meminta agar kamu diberi yang terbaik saja.”
“Dan kenyataannya doa Ibu tidak selamanya terkabul?”
Lalu Ibu tersenyum. Sebelah tanganmu merangkul pundakku, sebagian lagi mendarat di kepala, mengusap-usap.
“Kita tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk kita, sayang. Dan apakah kamu ragu akan cinta dan rencana Tuhan pada makhluknya?”
“Ah, capek.”
“Bersyukur adalah obat manjur atas segala kecewa. Belajarlah untuk itu.”
“...”
“Sudah cukup istirahatnya? Ayo jalan lagi.”
“Masih capek, Bu...”
“Membuang waktu dalam kesia-siaan bukan pekerjaan, anakku. Lagipula, menunda itu kesukaan setan.”
Lalu kita kembali berjalan. Sesekali Aku menjajari langkahmu, mencari kesempatan memandang wajah teduhmu.
Sebaris doa aku luncurkan, meski dalam hati.
Tuhan, jika hamba boleh meminta, panjangkan umurnya, berikan keselamatan sepanjang hayatnya, kebagahiaan di dunia dan di akhirat kelak, hindarkan ia dari marabahaya, berikan cintaMu yang luas untuknya.
Oh ya, satu lagi permintaan lancang hamba. Bukankah Tuhan menciptakan ribuan malaikat? Jadi, kalau boleh, malaikat yang satu ini buatku saja ya? Ya? Ya?
Ibu...
Terima kasih Untuk cinta yang tak pernah putus.
Tiap mimpi yang sudah aku buat dalam kertas-kertas yang dibentuk menjadi pesawat, ada doamu untuk setiap penerbangannya. Maka, terima kasih untuk doa yang juga selalu terucap tanpa dipinta.
Selamat Ulang Tahun.
-dari si sulung yang sengaja pulang ke Bandung, tapi nggak bisa ketemu ibu-
23 Januari 2010.
#sebuah catatan yang dipindah dari folder sent item email>> ke note facebook>> sampai ke sini#
image source : craftingcreatures.files.wordpress.com