Sore
tadi saya terbangun dari tidur yang sebenarnya tidak sengaja. Tahu apa itu
tidur tidak sengaja? Saat kalian sedang menggeletakkan diri di atas kasur, mengutak-atik
handphone atau membaca, lalu ternyata tidur begitu saja. Lelap seperti ayam
petelur sehabis menelan obat tidur (oh yes, terdengar seperti ayam kurang
kerjaan atau ayam depresi) Nah, seperti itulah kira-kira.
Sore
itu pula saya ingat hampir semua apa yang saya mimpikan selama tidur siang.
Bukan bermaksud memirip-miripkan apa yang terjadi dengan Leonardo Dicaprio,
tapi saya memang bermimpi di dalam mimpi. Seperti Leo dalam Inception. Ya ya, ini memang keterangan
yang tidak perlu untuk diperdebatkan, karena bukan actor utama Titanic itu yang
akan dibahas di sini, tapi isi mimpi tadi.
Kata
orang, mimpi adalah bunga tidur. Tidak tahu kenapa bisa disebut begitu. Apa
tidur itu sendiri pohon, atau air atau pupuk? Entah. Yang pasti mimpi siang
tadi berhasil membuat saya terpaku duduk di atas kasur dengan mata yang
setengah basah, lalu mengirim beberapa bait doa secara tiba-tiba. Doa, yang beberapa waktu belakangan ini alpa
saya kirimkan untuk dia yang saya temui dalam mimpi tadi. Tidak secara langsung
saya temui, tapi saya mimpikan dalam mimpi yang isinya saya sedang bermimpi, Pusing?
Baiklah, kita sebut saja kami bertemu di mimpi level dua.
Di
sana, saya bertemu Apa’. Beliau memakai setelah baju yang sering dipakainya
saat berdinas dan selalu terekam di kepala saya : safari putih, celana kain
putih, sampai sepatu pantofel putih, dengan rambut yang tersisir rapi lengkap
dengan poni mengkilap akibat minyak rambut. Di sana beliau mengajak saya
berbincang, tertawa, bercanda, sementara saya hanya bisa menatapnya nanar,
seolah tidak percaya kami bisa bertemu lagi.
Lalu
bulir air pun menggelontor dari mata saya, seperti banjir musiman di ibukota :
sulit berhenti. Beliau malah tersenyum kecil dan kawed (istilah bahasa sunda
untuk gesture bibir mengatup melipat ke dalam mulut menunjukkan rasa gemas),
lalu merengkuh saya, seolah saya masih TK, seperti saat saya masih belajar A-ba-ta-tsa.
Dalam dekap hangatnya, saya lancar bercerita-mengeluh lebih tepatnya-. Tentang ini-itu, tentang apa yang saya takutkan akhir-akhir ini, tentang keresahan dan khawatir yang sulit sekali diusir.
Dalam dekap hangatnya, saya lancar bercerita-mengeluh lebih tepatnya-. Tentang ini-itu, tentang apa yang saya takutkan akhir-akhir ini, tentang keresahan dan khawatir yang sulit sekali diusir.
Sementara beliau dengan sabar
mendengarkan, mengelus kepala saya dan berpesan bahwa semua akan baik-baik
saja, bahwa setiap pedih adalah harga yang harus dibayar untuk kebahagiaan di belakangnya. Dia juga berkata bahwa saya akan mendapatkan yang saya minta asal tetap berdoa. Berdoa apa saja.
Tidak ada yang tidak mungkin, bahkan jika Tuhan ingin, bumi pun bisa dibentukNya menjadi limas segitiga.
Lalu saya melonggarkan dekap itu, mencari mata tajam nan penyayang miliknya. Segera setelah tatapan kami beradu, saya bertanya “Apa’, apa kabar? Sehat?” Seolah tidak ada yang berbeda. Seolah kami masih dalam alam yang sama. Rasanya seperti bertanya pada sosok yang selalu memintaku mengunjunginya tiap liburan tiba. Rasanya masih sama seperti saat berbincang dengan kakek yang selalu membelikan saya serabi hangat di pagi buta setiap menginap di rumahnya.
Tidak ada yang tidak mungkin, bahkan jika Tuhan ingin, bumi pun bisa dibentukNya menjadi limas segitiga.
Lalu saya melonggarkan dekap itu, mencari mata tajam nan penyayang miliknya. Segera setelah tatapan kami beradu, saya bertanya “Apa’, apa kabar? Sehat?” Seolah tidak ada yang berbeda. Seolah kami masih dalam alam yang sama. Rasanya seperti bertanya pada sosok yang selalu memintaku mengunjunginya tiap liburan tiba. Rasanya masih sama seperti saat berbincang dengan kakek yang selalu membelikan saya serabi hangat di pagi buta setiap menginap di rumahnya.
Lalu
dia tersenyum dan bibirnya membentuk kata “Alhamdulillah” tanpa suara. “Jangan
sedih lagi, ya!” kali ini ia bersuara, sambil menyeka bagian basah di pipiku yang masih bersisa.
Tapi
lalu tiba-tiba warna di sekeliling kami memudar sedikit demi sedikit. Seperti goresan
pensil yang disentuh penghapus karet. Apa’, termasuk objek yang kemudian
memudar dan akhirnya hilang.
Dari
mimpi itu, saya terbangun dalam kondisi sesegukan. Saya tertidur di tepi sebuah
telaga. Tapi tak lama kemudian telaga itu ikut memudar beserta semua benda di
sekelilingnya. Barulah setelah itu saya benar-benar terjaga. Di atas sebuah
kasur bersprei jingga. Di kamar saya.
Mungkin
ini bisa disebut sebagai rindu yang tidak terasa. Sudah lama sejak terakhir
kali saya mengunjunginya, menaburkan beberapa genggam kelopak bunga yang
dicacah dan helai pandan yang dibelah-belah, membasahi permukaan
persemayamannya dengan air bening dingin. Saya merasa sebenar-benarnya durhaka.
Terlanjur tenggelam dengan keinginan ini-itu, kepusingan di sana di situ.
Apa’…
Maafkan
cucu yang akhir-akhir ini khilaf mendoa.
Maka
kali ini saya tebus dengan doa khusyuk dalam hening. Bukankah doa tidak harus diucap di depan pusara? Bukankah Tuhan mendengar setiap doa dari mana saja, yang diucap sepenuh jiwa?
Semoga
Apa’ baik-baik saja. Semoga rahmat Allah selalu menyertai Apa’. Terima kasih
untuk menemuiku meski hanya sekejap mata. Terima kasih untuk ketenangan yang
Apa’ suntikkan lewat pelukan (meski maya). Terima kasih untuk berkunjung meski
hanya dalam mimpi di level dua. Aku janji, aku akan baik-baik saja, dan jika
Tuhan mengizinkan, akan tetap membuatmu bangga. Yang tenang di sana ya, Pa’…
Miss
you,
Teh
Ica.