Aku tak bisa tidur malam ini. Kau tahu? Sindromnya berupa mata menutup semenit, lalu terbuka kembali sampai berjam-jam kemudian. Nyalang.
Sampai bisikan itu dating, menjalar dari rongga dada ke telinga, “Tulislah, sebelum kau tak mampu menampungnya.”
Maka kali ini aku menuruti bisik yang sebut saja sebagai bisikan hatiku sendiri itu. Mungkin benar apa yang dikatakannya, bahwa aku tak akan mampu menampung gelegak yang berarak ini sendiri. Setidaknya kertas dan goresan pena mungkin mau mengerti.
Sebut saja ini gejala yang baisa ketika orang terjatuhi cinta. Terlalu pagi untuk mengganti kata ‘kamu’ dengan apa yang kusebutkan terdahulu. Namun apa yang membuatku tak bisa terpejam menembus kelam adalah bayangmu yang sesekali mampir membuat mataku minta terbuka, entah kenapa. Padahal bukankah seharusnya dalam gulita mimpi, kamu akan lebih mudah untuk menghampiri? Mungkin justru kuharap sebaliknya : kamu bukanlah mimpi seperti jerami yang tertiup selepas bersentuh dengan ani-ani. Kamu menjelma nyata, dan jelas-jelas memberi sensasi yang teraba.
Lihat! Bahkan aku belum bercerita tentang bagaimana caramu tertawa, tapi paragraf yang kubuat sudah lebih dari dua. Belum lagi caramu bicara yang sangat apa adanya. Meski begitu entah kepercayaan dari mana yang mendorongku untuk yakin kamu tak seberantakan kelihatannya. Di balik kepala yang tertutup gumpalan helai rambut lucu itu, kamu pintar dan cerdas—hal yang bisa membuatku terpekik ‘You’re so damn hot!” meski dalam hati—.
Maka pintaku pada Tuhan malam ini, jika Dia tancapkan panah-panah berduri pada rongga dadaku sebelah kiri, tolong jangan biarkan panah itu tak terkoneksi pada rongga di tubuhmu tempat bersemayamnya hati.