Pernahkah kamu mengunjungi tempat yang dulu rasanya sangat lekat di kepala, hati, dan bahkan matamu setelah bertahun-tahun meninggalkannya?
Baiklah, kuralat. Tidak perlu bertahun-tahun, tapi anggap saja cukup lama untuk membuatmu merasa terasing ketika kembali menjejakkan kakimu di sana, dan menghirup aroma udara di sekitarnya.
Pernah?
Maka anggap saja kali ini aku sedang bernostalgia, berdiri pada sebuah bangunan yang tidak bisa dibilang tua karena seperti baru beberapa waktu lalu direnovasi, tapi tetap kuyakini sebagai gedung tua karena pada dasarnya ia telah berumur lebih dari angka lilin kue ulang tahunku yang berjumlah dua puluh dua.
Anggap saja kali ini aku sedang mendatangi sekolah dasar kita yang dulu pernah menyaksikan perjalanan enam tahun beratus anak-anak usia lima sampai belasan. Tempat kita dulu diperkenalkan pertama kali pada bangun datar, bangun ruang, majas-majas, puisi, prosa, karawitan, hokum alam, Newton, Disney, wayang golek, cerdas-cermat dan lain sebagainya.
Seperti yang sudah tadi kubilang di awal, rasanya begitu asing, dan berbeda.
Maka kini aku sedang merasakan itu semua saat akhirnya setelah beberapa tahun melanglangbuana pada dunia yang berbeda, akhirnya kita kembali bertatap muka. Kamu dengan aku. Aku dengan kamu.
“Apa kabar?”
Itu kalimat pertama yang kamu lontarkan saat mata kita beradu terlalu lama untuk dibiarkan menggantung tanpa kata.
Seperti halnya orang asing yang ditanya pertanyaan standar begitu, jawabanku pun pendek saja, “Baik.”
“Lama ya, nggak ketemu?”
Sejujurnya aku ingin mendorong kepalamu keras-keras saat mendengar lanjutan kalimat basa-basi yang kamu ciptakan baru saja,tapi apa mau dikata, bahkan sepertinya aku harus mendorong kepalaku sendiri dulu, karena lagi-lagi menjawab seperti orang kekurangan kosakata, “Iya.”
“Mmm…”
“Hmm…”
Lalu kita saling melempar senyum. Senyum, bukan tawa. Ada canggung yang kentara, hening yang memberi jeda. Jarak kita berdiri pun menjabarkan segalanya : bahwa kita sudah terlalu jauh dipisahkan waktu, hingga bahkan pori-pori kulit kita sudah tidak saling mengenal satu sama lain. Padahal dulu…
ah ya sudahlah.
Entah apa yang membuatku tak bergerak untuk mengakhiri pertemuan tidak bermutu ini. Sayangnya satu yang harus diakui, ternyata jauh di hati kecilku, aku menginginkan pertemuan ini. Bahkan lebih dari itu, aku mengharapkan yang terjadi lebih dari sekedar pertemuan dua orang asing, tapi pertemua dua orang yang saling merindu.
Terlalu.
Aku kebanyakan meracau.
Kamu sudah berubah. Mungkin aku pun begitu di matamu. Ada gurat dewasa yang jelas terpahat dari wajah-wajah kita yang semakin matang. Tidak ada lagi seragam yang membungkus tubuh, tidak ada lagi buku yang dipeluk di dada. Kita telah dibesarkan oleh waktu.
Maka saat kamu meminta kontakku kembali sambil berkata, “Baiklah, kita kenalan lagi saja.", kutanya balik,
"Seperti orang asing?"
Lalu kamu mengangguk mantap.
"Halo, gue Fahri."
Kamu berhasil menarik bibirku naik tersenyum kecil.
Baiklah, stranger...aku mau tau siapa kamu yang baru.